Rabu, 16 April 2014

TULISAN SINGKAT TENTANG 'SINTREN' kesenian ada dan tiada'.

Indonesia adalah wilayah yang terdiri dari berbagai macam suku, bahasa dan seni begitu banyak kesenian yang hidup dan berkembang, dari begitu banyak kekayaan seni ini,,hanya beberapa gelintir saja yang masih dapat dinikmati dan di pelihara secara baik. Indonesia sebagai negara multikultur tentu menjadi tempat yang subur untuk perkembangan bergam seni dan budaya. Ada ragam kesenian pantai, gunung , pesawahan, peladang dan sebagainya, masing-masing bentuk kesenian ini merupakan sebuah cerita nyata tentang pola pikir yang ter-implementasikan oleh masyarakatnya dalam bentuk kesenian. Kesenian tradisi Indonesia begitu lekat dengan unsur-unsur kosmologi, di mana kepercayaan terhadap sang pencipta selalu di hormati dengan upacara-upara ritual. Berikut adalah tulisan-tulisan yang merupakan hasil kutipan-kutipan yang pernah saya temukan, semoga ada yang mulai tertarik untuk meneliti seni yang sebentar lagi akan punah ini.

1. pikiran Rakyat
KEHIDUPAN rakyat pesisiran selalu memiliki tradisi yang kuat dan mengakar. Pada hakikatnya tradisi tersebut bermula dari keyakinan rakyat setempat terhadap nilai-nilai luhur nenek moyang, atau bahkan bisa jadi bermula dari kebiasaan atau permainan rakyat biasa yang kemudian menjadi tradisi yang luhur.
Mungkin orang-orang yang dulu hidup di wilayah pesisiran tidak akan mengira kalau tradisi tersebut hingga kini menjadi mahluk langka bernama kebudayaan, yang banyak dicari orang untuk sekedar dijadikan obyek penelitian dan maksud maksud tertentu lainnya yang tentu saja akan beraneka ragam.
Salah satu tradisi lama rakyat pesisiran Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat, tepatnya di Cirebon, adalah Sintren. Kesenian ini kini menjadi sebuah pertunjukan langka bahkan di daerah kelahiran Sintren sendiri. Sintren dalam perkembangannya kini, paling-paling hanya dapat dinikmati setiap tahun sekali pada upacara-upacara kelautan selain nadran, atau pada hajatan-hajatan orang gedean.
Berdasarkan keterangan dari berbagai sumber kalangan seniman tradisi cirebon, Sintren mulai dikenal pada awal tahun 1940-an, nama sintren sendiri tidak jelas berasal dari mana, namun katanya sintren adalah nama penari yang masih gadis yang menjadi staring dalam pertunjukan ini.
Menurut Ny. Juju, seorang pimpinan Grup Sintren Sinar Harapan Cirebon, asal mula lahinrya sintren adalah kebiasaan kaum ibu dan putra-putrinya yang tengah menunggu suami/ayah mereka pulang dari mencari ikan di laut. ”Ketimbang sore-sore tidur, kaum nelayan yang ndak pergi nangkap ikan, ya mendingan bikin permainan yang menarik,” ujar Juju.
Permainan sintren itu terus dilakukan hampir tiap sore dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka, maka lama-kelamaan Sintren berubah menjadi sebuah permainan sakral menunggu para nelayan pulang. Hingga kini malah Sintren menjadi sebuah warisan budaya yang luhur yang perlu dilestarikan.
Pada perkembangan selanjutnya, sintren dimainkan oleh para nelayan keliling kampung untuk manggung dimana saja, dan ternyata dari hasil keliling tersebut mereka mendapatkan uang saweran yang cukup lumayan. Dari semula hanya untuk menambah uang dapur, Sintren menjadi obyek mencari nafkah hidup
Harus gadis.
Kesenian Sintren (akhirnya bukan lagi permainan), terdiri dari para juru kawih/sinden yang diiringi dengan beberapa gamelan seperti buyung, sebuah alat musik pukul yang menyerupai gentong terbuat dari tanah liat, rebana, dan waditra lainya seperti , kendang, gong, dan kecrek.
Sebelum dimulai, para juru kawih memulai dengan lagu-lagu yang dimaksudkan untuk mengundang penonton. Syairnya begini :
Tambak tambak pawon
Isie dandang kukusan
Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul.
Syair tersebut dilantunkan secara berulang-ulang sampai penonton benar-benar berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan Sintren. Begitu penonton sudah banyak, juru kawih mulai melantunkan syair berikutnya,
Kembang trate
Dituku disebrang kana
Kartini dirante
Kang rante aran mang rana
Di tengah-tengah kawih diatas, muncullah Sintren yang masih muda belia. Konon menurut Ny. Juju. Seorang sintren haruslah seorang gadis, kalau Sintren dimainkan oleh wanita yang sudah bersuami, maka pertunjukan dianggap kurang pas, dalam hal ini Ny. Juju enggan lebih jauh menjelaskan kurang pas yang dimaksud semacam apa. ”Pokoknya harus yang masih perawan,” katanya menegaskan.
Kemudian sintren diikat dengan tali tambang mulai leher hingga kaki, sehingga secara syariat, tidak mungkin Sintren dapat melepaskan ikatan tersebut dalam waktu cepat. Lalu Sintren dimasukan ke dalam sebuah carangan (kurungan) yang ditutup kain, setelah sebelumnya diberi bekal pakaian pengganti. Gamelan terus menggema, dua orang yang disebut sebagai pawang tak henti-hentinya membaca do?dengan asap kemenyan mengepul. Juru kawih terus berulang-ulang nembang :
Gulung gulung kasa
Ana sintren masih turu
Wong nontone buru-buru
Ana sintren masih baru
Yang artinya menggambarkan kondisi sintren dalam kurungan yang masih dalam keadaan tidur. Namun begitu kurungan dibuka, sang Sintren sudah berganti dengan pakaian yang serba bagus layaknya pakaian yang biasa digunakan untuk menari topeng, ditambah lagi sang Sintren memakai kaca mata hitam.
Sintren kemudian menari secara monoton, para penonton yang berdesak-desakan mulai melempari Sintren dengan uang logam, dan begitu uang logam mengenai tubuhnya, maka Sintren akan jatuh pingsan. Sintren akan sadar kenbali dan menari setelah diberi jampi-jampi oleh pawang.
Secara monoton sintren terus menari dan penonton pun beruhasa melempar dengan uang logam dengan harapan Sintren akan pingsan. Disinilah salah satu inti seni Sintren ”Ndak tahu ya, pokoknya kalau ada yang ngelempar dengan uang logam dan kena tubuh Sintren pasti pingsan, sudah dari sononya sih pak, mengkonon yang mengkonon,” ujar seorang pawang, Mamang Rana pada penulis.
Ketika hal ini ditanyakan pada Sintrennya, Kartini (20), usai pertunjukan, mengaku tidak sadarkan diri apa yang ia perbuat diatas panggung, meskipun sesekali terasa juga tubuhnya ada yang melempar dengan benda kecil.
Misteri ini hingga kini belum terungkap, apakah betul seorang Sintren berada dibawah alam sadarnya atau hanya sekedar untuk lebih optimal dalam pertunjukan yang jarang tersebut. Seorang mantan Sintren yang enggan disebut namanya mengatakan, ia pernah jadi Sintren dan benar-benar sadar apa yang dia lakukan di atas panggung, namun lantaran tuntutan pertunjukan maka adegan pingsan harus ia lakukan.
Pada Festival Budaya Pantura Jabar yang berlangsung di Cirebon belum lama ini, kesenian Sintren sempat dipentaskan di lapangan terbuka Kejaksan, Pertunjukan benar-benar menjadi perhatian masyarakat setempat, publik seni dan para pengamat seni. Konon Sintren akan dipentaskan sepanjang Festival berlangsung hingga bulan September 2002 mendatang, di Subang, Indramayu, Sumedang, Bekasi dan Karawang.
Kesenian Sintren merupakan warisan tradisi rakyat pesisiran yang harus dipelihara, mengingat nilai-nilai budaya yang kuat di dalamnya, terlepas dari apakah pengaruh majis ada di dalamnya atau tidak. Sintren menambah daftar panjang kekayaan khasanah budaya sebagai warisan tradisi nenek moyang kita.
Sayang sekali, di Cirebon hanya ada dua grup Sintren yang masih eksis dan produktif, masing masing pimpinan Ny. Nani dan Ny. Juju, yang beralamat di Jl. Yos Sudarso, Desa Cingkul Tengah, Gang Deli Raya, Cirebon, Jawa Barat. Kedua kelompok ini sering diundang pentas di berbagai kota di indonesia, bahkan menurut Ny. Juju sampai ke luar negeri.
Di sisi lain tentu hal ini merupakan perkembangan yang bagus, namun di sisi lain juga hal ini tantangan berat bagi pewaris Sintren untuk tetap menjaga orsinilitasnya.

2. Kutipan berikutnya:

Judul : Sintren
Penulis : Dianing Widya Yudhistira
Editor : A Ariobimo Nusantara
Penerbit : Grasindo
Cetakan : 2007
Tebal : 296 hlm
Sintren, adalah salah satu kesenian tradisional masyarakat sepanjang pesisir pantura, seperti Cirebon, Indramayu dan Pekalongan. Sintren adalah sebuah tarian yang berbau mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dan Raden Sulandono. Sulandono adalah putra Ki Baurekso hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Baurekso, akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan diantara keduanya masih terus berlangsung melalui alam roh. Pertemuan tersebut diatur oleh ibu Sulandoro, Dewi Rantamsari dengan memasukkan roh bidadari ketubuh Sulasih, pada saat itu pula Sulandono yang sedang bertapa dipanggil roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan diantara Sulasih dan Sulandono.

Kisah diatas mendasari timbulnya kesenian sintren. Sesuai tradisi Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawangnya dan diiringi gending si penari akan dimasuki roh bidadari sehingga si penari akan menari dalam keadaan trance. Sesuai pengembangan tari sintren sebagai hiburan budaya maka kesenian ini dilengkapi dengan penari pendamping dan bador (lawak).

Pementasan Sintrén diawali dengan seorang gadis yang menari dengan pakaian seadanya (biasanya berkaus putih) ditemani dua dayang. Lalu nyanyi-nyanyian pun ditembangkan. Seorang dalang kemudian mengikat sintren dengan tali di sekujur tubuhnya sambil membaca mantra khusus. Lalu sintren akan pingsan dan dalam keadaan terikat, ia dimasukkan ke dalam kurungan ayam (yang diselubungi kain diluarnya) diiringi bacaan mantra sang dalang dan tembang-tembang.

Sesaat kemudian kurungan dibuka dan tiba-tiba sintren tersebut sudah memakai pakaian khas penari sintren lengkap dengan memakai kacamata hitam. Dalam keadaan trance Sintren akan terus menari, bahkan ia sanggup menari diatas kurungan ayam yang terbuat dari bambu. Selama menari inilah para penonton diperkenankan menari bersama Sintren dan memberinya uang saweran. Tarian ini berakhir ketika dalang membuat gadis tersebut tak sadarkan diri, dan memasukkannya kembali ke dalam kurungan. Saat dibuka, si gadis sudah kembali berpakaian seperti semula dan dalam kondisi terikat di sekujur tubuhnya persis seperti pada saat awal ia dimasukkan dalam kurungan.

Kesenian Sintren ini kini menjadi sebuah pertunjukan langka bahkan di daerah kelahiran Sintren sendiri., kini Sintren hanya dapat dinikmati setiap tahun sekali pada upacara-upacara besar atau pada hajatan-hajatan orang kaya di kampung. Jarang sekali bahkan hampir tak pernah sintren muncul di layar kaca yang semakin kini semakin dirajai program-program terbarunya nya yang membuat kita lupa akan akar budaya kita

3. sintren pekalongan

Tahapan menjadikan sintren dilakukan oleh Pawang dengan membawa calon penari sintren bersama dengan 4 (empat) orang pemain. Dayang sebagai lambang bidadari (Jawa: Widodari patang puluh) sebagai cantriknya Sintren. Kemudian Sintren didudukkan oleh Pawang dalam keadaan berpakain biasa dan didampingi para dayang/cantrik.
Pawang segera menjadikan penari sintren secara bertahap, melalui tiga tahap:
Tahap Pertama, pawang memegang kedua tangan calon penari sintren, kemudian diletakkan di atas asap kemenyan sambil mengucapkan mantra, selanjutnya calon penari sintren dengan tali melilit ke seluruh tubuh.
Tahap Kedua, calon penari sintren dimasukkan ke dalam sangkar (kurungan) ayam bersama busana sintren dan perlengkapan merias wajah. Beberapa saat kemudian kurungan dibuka, sintren sudah berdandan dalam keadaan terikat tali, lalu sintren ditutup kurungan kembali.
Tahap Ketiga, setelah ada tanda-tdana sintren sudah jadi (biasanya ditandai kurungan bergetar/bergoyang) kurungan dibuka, sintren sudah lepas dari ikatan tali dan siap menari. Selain menari adakalanya sintren melakukan akrobatik diantaranya ada yang berdiri diatas kurungan sambil menari. Selama pertunjukan sintren berlangsung, pembakaran kemenyan tidak boleh berhenti.
d. Balangan dan Temohan
Balangan yaitu pada saat penari sintren sedang menari maka dari arah penonton ada yang melempar (Jawa : mbalang) sesuatu ke arah penari sintren. Setiap penari terkena lemparan maka sintren akan jatuh pingsan. Pada saat itu, pawang dengan menggunakan mantra-mantra tertentu kedua tangan penari sintren diasapi dengan kemenyan dan diteruskan dengan mengusap wajah penari sintren dengan tujuan agar roh bidadari datang lagi sehingga penari sintren dapat melanjutkan menari lagi.
Sedangkan temohan adalah penari sintren dengan nyiru/tampah atau nampan mendekati penonton untuk meminta tanda terima kasih berupa uang ala kadarnya.
d. Paripurna
Tahap pertama, penari sintren dimasukkan ke dalam kurungan bersama pakain biasa (pakaian sehari-hari).
Tahap kedua, pawang membawa anglo berisi bakaran kemenyan mengelilingi kurungan sambil membaca mantra sampai dengan busana sintren dikeluarkan.
Tahap ketiga, kurungan dibuka, penari sintren sudah berpakain bisasa dalam keadaan tidak sadar. Selanjutnya pawang memegang kedua tangan penari sintren dan meletakkan di atas asap kemenyan sambil membaca mantra sampai sintren sadar kembali.
TEMPAT PENYAJIAN SINTREN
Tempat yang digunakan untuk pertunjukan kesenian sintren adalah arena terbuka. Maksudnya berupa arena pertunjukan yang tidak terlihat batas antara penonton dengan penari sintren maupun pendukungnya.Hal ini dimaksudkan agar lebih komunikatif dengan dibuktikan pada saat acara balangan dan temohan, dimana antara penonton dan penari sintren terlihat menyatu dalam satu pertunjukan dengan ikut menari setelah penonton melakukan balangan pada penari sintren.
WAKTU PENYAJIAN
Pegelaran sintren semula disajikan pada waktu sunyi dalam malam bulan purnama dan menurut kepercayaan masyarakat lebih utama lagi kalau dipentaskan pada malam kliwon, karena dikandung maksud bahwa sintren sangat berkaitan dengan kepercayaan adanya roh halus yang menjelma menyatu dengan penari sintren. Namun demikian pada saat sekarang ini pertunjukan sintren dapat dilaksanakan kapan saja baik siang atau malam hari tidak tergantung pada malam bulan purnama.
BUSANA SINTREN
Busana yang digunakan penari sintren dulunya berupa pakaian kebaya (untuk atasan) sekarang ini menggunakan busana golek. Busana kebaya ini lebih banyak dipakai oleh wanita yang hidup di desa-desa sebagai busana keseharian. Adapun macam-macam busana yang lain sebagai pelengkap busana penari sintren dapat diuraikan sebagai berikut :
Baju keseharian, yang dipakai sebelum pertunjukan kesenian sintren berlangsung.
Baju golek, adalah baju tanpa lengan yang biasa dipergunakan dalam tari golek.
Kain atau jarit, model busana wanita Jawa.
Celana Cinde, yaitu celana tiga perempat yang panjangnya hanya sampai lutut.
Sabuk, yaitu berupa sabuk lebar dari bahan kain yang biasa dipakai untuk mengikat sampur.
Sampur, berjumlah sehelai/selembar dililitkan di pinggang dan diletakkan di samping kiri dan kanan kemudian diutup sabuk atau diletakkan didepan.
Jamang, adalah hiasan yang dipakai dikepala dengan untaian bunga melati di samping kanan dan kiri telinga sebagai koncer.
Kaos kaki hitam dan putih, seperti ciri khas kesenian tradisional lain khususnya di Jateng.
Kacamata Hitam, berfungsi sebagai penutup mata karena selama menari, sintren selalu memejamkan mata akibat kerasukan "trance", juga sebagai ciri khas kesenian sintren dan menambah daya tarik/mempercantik penampilan.

4. kutipan tradisi masyarakat pekalongan

Sintren adalan kesenian tradisional masyarakat Pekalongan dan sekitarnya. Sintren adalah sebuah tarian yang berbau mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta Sulasih dan Sulandono.Tersebut dalam kisah bahwa Sulandono adalah putra Ki Baurekso hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih, seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Baurekso. Akhirnya R.Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari.
Meskipun demikian pertemuan diantara keduanya masih terus berlangsung malalui alam goib. Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang pada saat meninggal jasadnya raib secara goib, yaitu dengan cara bahwa pada setiap acara dimana Sulasih muncul sebagai penari maka Dewi Rantamsari memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih,pada saat itu pula R.Sulandono yang sedang bertapa dipanggil roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan diantara Sulasih dan R.Sulandono, yaitu dengan cara bahwa pada setiap acara dimana Sulasih muncul sebagai penari maka Dewi Rantamsari memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula R.Sulandono yang sedang bertapa dipanggil roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan diantara Sulasih dan R.Sulandono.
Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren,sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan cacatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari betul-betul masih dalam keadaan suci (perawan). Sintren diperankan oleh seorang gadis yang masih suci, dibantu pawang dan diiringi gending 6 orang, sesuai pengembangan tari sintren sebagai hiburan budaya maka dilengkapi dengan penari pendamping dan bador(lawak).

ayo, para intelektual muda bangsa..mari kita kumpulkan dengan sungguh-sungguh cabikan-cabikan budaya kita...pelan-pelan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar