Geliat kehidupan
disebelah kita
Oleh : Hery udo supiarza
Matahari pagi bersinar masih malu-malu, cuaca nampaknya
akan cerah hari ini sebab awan tak terlihat sama sekali hanya sisa embun masih bergelayut disela-sela
rumput dan tanaman bunga dipekarangan rumah-rumah penduduk. Dari satu jam sebelumnya
,setelah melaksanakan sholat subuh , Yati telah bergegas
menuju kamar mandi umum dibawah pohon kamboja dekat dengan sungai yang
berwarna hitam pekat karena segala macam barang sisa kesibukan kota memenuhinya, mulai dari kardus,
kaleng oli,sampai sisa karet kondom. Yati begitu senang, karena Ia mendapatkan
nomor antri pertama, biasannya Yati selalu mendapatkan nomor antri kelima setelah para ibu pencuci pakaian upahan.Setelah
selesai mandi ,Yati, anak satu-satunya
perempuan berumur delapan belas tahun dari tujuh bersaudara ini segera menyiapkan
peralatan rias yang tersimpan rapi di dalam kardus sisa mie instan, kemudian
dengan terampilnya Yati mulai menghias
dirinya sambil sekali-kali melihat kedepan kaca rias mengagumi penampilannya
yang tak kalah cantik dengan penyanyi
dangdut pujaannya yaitu Elvi Sukaesih, terakhir hampir ia lupa memberikan lukisan titik hitam
dengan pensil sebagai tahi lalat palsu
di dagu sebelah kirinya.
Rutinitas seperti ini telah Yati lakukan sejak ia berumur enam tahun, sambil berlari kecil Yati segera
menuju halaman depan rumah kontrakan
keluarga mereka,kakak-dan ayahnya telah menunggu dengan senjata
masing-masing, sang Ayah sedikit
berteriak menyuruh Yati untuk segera
mencoba dulu sound system.
“Yat..ayo sini lu!” Ayah Yati
berkata seperti biasanya. “ Ya, Bentar!. Ini dah siap koq.” Jawab Yati, Dia berlari
kecil dan hampir menabrak kabel gitar kakaknya. “eh..ati-ati lu! Ntar klo
kabelnya putus baru nyaho!” Amir,kakak
Yati yang paling tua berkata sambil sibuk menyetel ampli gitar butut
yang Ia dapat beberapa tahun lalu ,pemberian seorang anak muda, konon katanya
Dia begitu mengagumi permainan gitar Amir,”bang Amir! Maen gitarnya bagus
banget dan rapi kayak bang Aji”.Anak muda itu mengomentari. (maksud Bang aji
adalah Haji Rhoma Irama, Raja dangdut).
“ Sip, dah enak kayaknya nih!”
Ayah mengomentari hasil cheksound mereka. “Mir, gitar elu kekerasan , bas ma
ketipung gak kedengeran tau!” Marwan berkata protes, Marwan adalah kakak Ratna
nomor enam, Dia bertugas mendorong gerobak dan mengedarkan topi untuk menerima
saweran dari penonton. Tapi walaupun tugasnya tidak begitu terhormat, Marwan
ini adalah orang yang paling dipercaya dalam keluarga untuk mengevaluasi keras,
lembut , seimbang atau tidak seimbangnya suara music mereka. Jika Marwan sudah
menyepakati hasil suara dari seperangkat
soundsistem butut milik keluarga ini,
maka barulah mereka berangkat.
“Amir,coba volumenya kecilin
dikit dong!” ayah berkata. “ni udah, tinggal lu zam !” amir berkata kepada
adiknya nomor tiga, Azam sang pembetot
Bass. “Ya..ya..gue ma ahmed mau nyobain nge-belen nih !, Azam menimpali, Ahmed
adalah kakak Yati nomor tiga, Dia mempunyai peran memainkan Tam-tam (istilah bagi pemusik dangdut untuk
dua buah alat perkusi kecil yang
mempunyai peran sangatlah penting, sebab tanpa alat music ini sama saja seperti
sayur tanpa garam).
“Ok. Kalau dah pada sip kita
berangkat sekarang, keburu siang nih!!” Ayah berkata memberi komando untuk
berangkat.
Suasana pagi semakin riuh, para
pedagang sayur, tukang beca, calo angkutan kota, anak-anak sekolah, tumplek
menjadi warna kehidupan pagi . Seperti layaknya orang Gipsi, keluarga ini
berjalan beriringan,Ayah Yati sebagai juragan
Orkes dangdut dorong, berada paling depan layaknya seorang panglima perang, sambil sesekali menyapa orang-orang yang memandang
dan memberi senyum kepada keluarga ini. kemudian
gerobak dan seperangkat alat pengeras suara berada di bagian kedua, barulah
dibelakangnya Marwan yang memiliki perawakan paling besar dan kuat bertugas mendorong
gerobak, disusul Yati, Amir dan Azam. Inilah
gambaran potret keluarga miskin Bangsa kita didalam mempertahankan kerasnya
kehidupan.Mereka menjalani kerasnya hidup dengan penuh suka cita dan tidak
dengan cara mengemis.Satu hal yang paling penting, mereka memiliki rasa
optimisme , tidak pantang menyerah dan bekerja tanpa mengeluh. Walaupun mereka
miskin, tapi dengan keadaan hidup demikian mereka mampu menciptakan hubungan keluarga yang
harmonis, saling menjaga dan saling menghormati.
Sekitar lima belas menit
kemudian, sampailah mereka ketempat yang mereka tuju. Sebuah pertigaan, ditempat
ini terdapat sebuah toko kelontong milik ko wijaya, toke keturunan Cina yang
mempunyai rasa nasionalisme tinggi, maklumlah
kakeknya adalah salah satu pejuang pergerakan dan konon sangat
bersahabat dengan sang proklamator Bangsa ini, itu kata ko wijaya kalau dia
sudah mulai bercerita dengan penuh gelora mengenai kakeknya. Ko Wijaya ini
sangat ramah dan baik hati,nyatanya Dia membolehkan lapangan kecil disebelah
tokonya sebagai tempat Yati dan
keluarganya mengadakan pertunjukan.
“Yuk anak-anak, siapin tu
peralatan, kita akan mulai pertunjukan hari ini!” Ayah berkata memberi komando.
“Oke,!”Jawab Marwan, sambil melepaskan tangannya dari gagang dorongan gerobak,
lalu ia bergegas mendekati aki yang merupakan sumber listrik dari perangkat
soundsistem. Dut..dut..ta.tak..dut. ,dem..dum..dem, jreng..cek.cek..jreng,
intro atau bagian pembukaan telah
dimulai. Satu persatu orang-orang mulai berkerumun mendekati pertunjukan
Yati dan keluarga.
“ Halo semua.. selamat pagi,
semoga hari ini kami bisa menghibur anda sekalian”, Yati memulai pidato singkatnya
atau lebih tepatnya pidato basa basi,isi pidatonya sama dengan yang ia katakan kemarin dan telah bertahun-tahun, dan selalu
sama isinya. “sebuah lagu pertama dari Hajjah Umi Elvi Sukaesih,!! Gula-gula,
selamat menikmati. Yati menyelesaikan pidatonya sambil mulai memutar-mutarkan
pinggulnya, mengikuti irama tam-tam. Penonton semakin ramai, namun yang
berjoget tertib dan terkendali, sebab hal ini sudah menjadi biasa, bukan
pemandangan yang aneh bagi orang-orang di pasar itu.
Hari telah menjelang sore,
suasana pasar mulai sepi meninggalkan serakan sampah seperti sisa perang
kurusetra saja, tumpukan sayur mayur bergelimpangan menunggu datangnya para
pemulung memungutinya.Hari ini, telah dua kali istirahat keluargaYati lakukan, yaitu ketika adzan
dhuhur dan sekarang ini, maka sudah tiba
saatnya untuk mereka pulang kerumah.
“Yuk. Kita pulang anak-anak,
jangan samapai ada yang ketinggalan, ntar repot tuh”, Ayah Yati berkata dengan
senyum senang, karena hari ini perolehan mereka cukup memuaskan nampaknya.
Tanpa banyak bicara Marwan memeriksa
segala perabotan yang berada dalam gerobak , sekarang gerobak itu tampak lebih
penuh, selain senjata dari kakak-kakaknya telah diletakkan kedalam gerobak itu,
di tambah pula dengan belanjaan untuk
persediaan makan mereka malam ini.
“ Ok, sip! Semua dah lengkap, gak
ada yang ketinggalan”, Marwan berkata menerangkan perihal tanggung jawabnya.
Maka berbarislah mereka seperti ketika mereka
berangkat tadi pagi. Namun, ekspresi mereka lebih ceria sore ini, hanya saja
penampilan mereka layaknya petani pulang dari sawah, belepotan dan kelelahan.
Selesai sholat magrib Yati segera
ke dapur untuk menyiapkan makan malam keluarganya, persoalan masak memasak dan
menghidangkan makanan adalah tanggung jawab Yati, hampir lima tahun keluarga
ini telah ditinggalkan Ibu mereka, Ibu mereka telah dipanggil oleh_Nya, karena
sakit demam berdarah dan mereka tidak punya biaya untuk membawanya ke dokter. Sementara tiga kakak laki-laki nya yang lain
berpencar-pencar bekerja sebagai kuli bangunan, dan hanya satu tahun
sekali pulang mengunjungi keluarga
induknya. Waktu telah menunjukkan jam sepuluh malam, ayah dan kakak-kakak Yati
telah terlelap menciptakan paduan suara malam didepan pesawat televisi hitam
putih empat belas inci, Yati mengamati wajah anggota keluarganya satu persatu
sambil tersenyum.
“Biarlah kekayaan tidak memihak kepada kami,
tetapi ada hal yang lebih penting yaitu kebahagiaan yang memihak pada kami”.
Yati berucap di dalam hati, sambil mematikan televisi,.
Yati beranjak masuk kamar tidur berukuran dua kedua meter untuk mendatangi mimpi-mimpinya yang belum
terwujud.
Pada
dasarnya didekat kehidupan kita
sehari-hari, terdapat banyak warna
kehidupan masyarakat kita, apalagi persoalan sosial.Bangsa ini sedang
sakit, bukan sakit flu karena kehujanan, tapi sakit tumor yang akarnya telah menyebar
ke pusat syaraf kehidupan, dan kita sepertinya sedang menunggu untuk diamputasi
atau dimatikan. Nilai-nilai sosial masyarakat kita semakin terkubur,apakah
disebabkan himpitan ekonomi?!,keprustasian telah menjadi tontonan sehari-hari,
jangan kita bicara tentang moral! Mari kita kerjakan sesuatu yang kita pahami
dengan kejujuran dan ketulusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar