Minggu, 20 April 2014

CERTA PENDEK CERITANYA

Geliat kehidupan disebelah kita
Oleh : Hery udo supiarza

Matahari pagi  bersinar masih malu-malu, cuaca nampaknya akan cerah hari ini sebab awan tak terlihat sama sekali hanya  sisa embun masih bergelayut disela-sela rumput dan tanaman bunga dipekarangan rumah-rumah penduduk. Dari satu jam sebelumnya ,setelah melaksanakan sholat subuh , Yati  telah bergegas  menuju kamar mandi umum dibawah pohon kamboja dekat dengan sungai yang berwarna hitam pekat karena segala macam barang sisa  kesibukan kota memenuhinya, mulai dari kardus, kaleng oli,sampai sisa karet kondom. Yati begitu senang, karena Ia mendapatkan nomor antri pertama, biasannya Yati selalu mendapatkan nomor antri kelima  setelah para ibu pencuci pakaian upahan.Setelah selesai mandi ,Yati,   anak satu-satunya perempuan  berumur delapan belas tahun  dari tujuh bersaudara ini segera menyiapkan peralatan rias yang tersimpan rapi di dalam kardus sisa mie instan, kemudian dengan  terampilnya Yati mulai menghias dirinya sambil sekali-kali melihat kedepan kaca rias mengagumi penampilannya yang tak kalah cantik dengan penyanyi  dangdut pujaannya yaitu Elvi Sukaesih, terakhir  hampir ia lupa memberikan lukisan titik hitam dengan pensil sebagai  tahi lalat palsu di dagu sebelah kirinya.
Rutinitas seperti ini telah Yati  lakukan sejak ia berumur  enam tahun, sambil berlari kecil Yati segera menuju halaman depan rumah kontrakan  keluarga mereka,kakak-dan ayahnya telah menunggu dengan senjata masing-masing,  sang Ayah sedikit berteriak menyuruh Yati  untuk segera mencoba dulu sound system.
“Yat..ayo sini lu!” Ayah Yati berkata seperti biasanya. “ Ya, Bentar!. Ini dah siap koq.” Jawab Yati, Dia berlari kecil dan hampir menabrak kabel gitar kakaknya. “eh..ati-ati lu! Ntar klo kabelnya putus baru nyaho!” Amir,kakak  Yati yang paling tua berkata sambil sibuk menyetel ampli gitar butut yang Ia dapat beberapa tahun lalu ,pemberian seorang anak muda, konon katanya Dia begitu mengagumi permainan gitar Amir,”bang Amir! Maen gitarnya bagus banget dan rapi kayak bang Aji”.Anak muda itu mengomentari. (maksud Bang aji adalah  Haji Rhoma Irama, Raja dangdut).
“ Sip, dah enak kayaknya nih!” Ayah mengomentari hasil cheksound mereka. “Mir, gitar elu kekerasan , bas ma ketipung gak kedengeran tau!” Marwan berkata protes, Marwan adalah kakak Ratna nomor enam, Dia bertugas mendorong gerobak dan mengedarkan topi untuk menerima saweran dari penonton. Tapi walaupun tugasnya tidak begitu terhormat, Marwan ini adalah orang yang paling dipercaya dalam keluarga untuk mengevaluasi keras, lembut , seimbang atau tidak seimbangnya suara music mereka. Jika Marwan sudah menyepakati  hasil suara dari seperangkat soundsistem  butut milik keluarga ini, maka barulah mereka berangkat.
“Amir,coba volumenya kecilin dikit dong!” ayah berkata. “ni udah, tinggal lu zam !” amir berkata kepada adiknya nomor  tiga, Azam sang pembetot Bass. “Ya..ya..gue ma ahmed mau nyobain nge-belen nih !, Azam menimpali, Ahmed adalah kakak Yati nomor tiga, Dia mempunyai peran memainkan  Tam-tam (istilah bagi pemusik dangdut untuk dua buah  alat perkusi kecil yang mempunyai peran sangatlah penting, sebab tanpa alat music ini sama saja seperti sayur tanpa garam).
“Ok. Kalau dah pada sip kita berangkat sekarang, keburu siang nih!!” Ayah berkata memberi komando untuk berangkat.
Suasana pagi semakin riuh, para pedagang sayur, tukang beca, calo angkutan kota, anak-anak sekolah, tumplek menjadi warna kehidupan pagi . Seperti layaknya orang Gipsi, keluarga ini berjalan beriringan,Ayah Yati sebagai juragan  Orkes dangdut dorong, berada paling depan  layaknya  seorang panglima perang, sambil  sesekali menyapa orang-orang yang memandang dan memberi  senyum kepada keluarga ini. kemudian gerobak dan seperangkat alat pengeras suara berada di bagian kedua, barulah dibelakangnya  Marwan yang memiliki  perawakan  paling besar dan kuat bertugas mendorong gerobak, disusul Yati, Amir dan Azam.  Inilah gambaran potret keluarga miskin Bangsa kita didalam mempertahankan kerasnya kehidupan.Mereka menjalani kerasnya hidup dengan penuh suka cita dan tidak dengan cara mengemis.Satu hal yang paling penting, mereka memiliki rasa optimisme , tidak pantang menyerah dan bekerja tanpa mengeluh. Walaupun mereka miskin, tapi dengan keadaan hidup demikian  mereka  mampu menciptakan hubungan keluarga yang harmonis, saling menjaga dan saling menghormati.
Sekitar lima belas menit kemudian, sampailah mereka ketempat yang mereka tuju. Sebuah pertigaan, ditempat ini terdapat sebuah toko kelontong milik ko wijaya, toke keturunan Cina yang mempunyai rasa nasionalisme tinggi, maklumlah  kakeknya adalah salah satu pejuang pergerakan dan konon sangat bersahabat dengan sang proklamator Bangsa ini, itu kata ko wijaya kalau dia sudah mulai bercerita dengan penuh gelora mengenai kakeknya. Ko Wijaya ini sangat ramah dan baik hati,nyatanya Dia membolehkan lapangan kecil disebelah tokonya sebagai tempat  Yati dan keluarganya mengadakan pertunjukan.
“Yuk anak-anak, siapin tu peralatan, kita akan mulai pertunjukan hari ini!” Ayah berkata memberi komando. “Oke,!”Jawab Marwan, sambil melepaskan tangannya dari gagang dorongan gerobak, lalu ia bergegas mendekati aki yang merupakan sumber listrik dari perangkat soundsistem. Dut..dut..ta.tak..dut. ,dem..dum..dem, jreng..cek.cek..jreng, intro atau bagian pembukaan telah  dimulai. Satu persatu orang-orang mulai berkerumun mendekati pertunjukan Yati dan keluarga.
“ Halo semua.. selamat pagi, semoga hari ini kami bisa menghibur anda sekalian”, Yati memulai pidato singkatnya atau lebih tepatnya pidato basa basi,isi pidatonya  sama dengan yang ia katakan  kemarin dan telah bertahun-tahun, dan selalu sama isinya. “sebuah lagu pertama dari Hajjah Umi Elvi Sukaesih,!! Gula-gula, selamat menikmati. Yati menyelesaikan pidatonya sambil mulai memutar-mutarkan pinggulnya, mengikuti irama tam-tam. Penonton semakin ramai, namun yang berjoget tertib dan terkendali, sebab hal ini sudah menjadi biasa, bukan pemandangan yang aneh bagi orang-orang di pasar itu.
Hari telah menjelang sore, suasana pasar mulai sepi meninggalkan serakan sampah seperti sisa perang kurusetra saja, tumpukan sayur mayur bergelimpangan menunggu datangnya para pemulung memungutinya.Hari ini, telah dua kali istirahat  keluargaYati lakukan, yaitu ketika adzan dhuhur dan sekarang ini,  maka sudah tiba saatnya untuk mereka pulang kerumah.
“Yuk. Kita pulang anak-anak, jangan samapai ada yang ketinggalan, ntar repot tuh”, Ayah Yati berkata dengan senyum senang, karena hari ini perolehan mereka cukup memuaskan nampaknya. Tanpa banyak bicara  Marwan memeriksa segala perabotan yang berada dalam gerobak , sekarang gerobak itu tampak lebih penuh, selain senjata dari kakak-kakaknya telah diletakkan kedalam gerobak itu, di tambah pula dengan  belanjaan untuk persediaan makan mereka malam ini.
“ Ok, sip! Semua dah lengkap, gak ada yang ketinggalan”, Marwan berkata menerangkan perihal tanggung jawabnya.
 Maka berbarislah mereka seperti ketika mereka berangkat tadi pagi. Namun, ekspresi mereka lebih ceria sore ini, hanya saja penampilan mereka layaknya petani pulang dari sawah, belepotan dan kelelahan.
Selesai sholat magrib Yati segera ke dapur untuk menyiapkan makan malam keluarganya, persoalan masak memasak dan menghidangkan makanan adalah tanggung jawab Yati, hampir lima tahun keluarga ini telah ditinggalkan Ibu mereka, Ibu mereka telah dipanggil oleh_Nya, karena sakit demam berdarah dan mereka tidak punya biaya untuk membawanya ke dokter.   Sementara tiga kakak laki-laki nya yang lain berpencar-pencar bekerja sebagai kuli bangunan, dan hanya satu tahun sekali  pulang mengunjungi keluarga induknya. Waktu telah menunjukkan jam sepuluh malam, ayah dan kakak-kakak Yati telah terlelap menciptakan paduan suara malam didepan pesawat televisi hitam putih empat belas inci, Yati mengamati wajah anggota keluarganya satu persatu sambil tersenyum.
 “Biarlah kekayaan tidak memihak kepada kami, tetapi ada hal yang lebih penting yaitu kebahagiaan yang memihak pada kami”. Yati berucap di dalam hati, sambil mematikan televisi,.
Yati beranjak masuk kamar  tidur berukuran dua kedua meter  untuk mendatangi mimpi-mimpinya yang belum terwujud.

Pada  dasarnya didekat kehidupan kita sehari-hari, terdapat banyak warna  kehidupan masyarakat kita, apalagi persoalan sosial.Bangsa ini sedang sakit, bukan sakit flu karena kehujanan, tapi sakit tumor yang akarnya telah menyebar ke pusat syaraf kehidupan, dan kita sepertinya sedang menunggu untuk diamputasi atau dimatikan. Nilai-nilai sosial masyarakat kita semakin terkubur,apakah disebabkan himpitan ekonomi?!,keprustasian telah menjadi tontonan sehari-hari, jangan kita bicara tentang moral! Mari kita kerjakan sesuatu yang kita pahami dengan kejujuran dan ketulusan.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar