PENDAHULUAN
Kebudayaan
adalah hasil karya dan karsa manusia kemudian menjadi ciri khas suatu
komunitas, kebudayaan Indonesia begitu kaya raya namun kemudian kekayaan itu
satu-persatu tenggelam, ada yang diambil oleh bangsa lain dan ada yang mati terkubur
kemudian musnah tak berbekas. Ada apa dengan semua ini?
Persoalan
yang paling mendasar pada bangsa kita ini adalah krisis akar budaya, begitu
banyak kesenian kemudian menjadi punah karena disebabkan tidak adanya
regenarasi. Pendidikan merupakan wilayah yang paling bertanggung jawab terhadap
persoalan ini. Pemikiran terhadap kebudayaan bangsa ini sejak lama telah
berkembang, seperti ungkapan bijak di bawah ini :
Bangsa , yaitu rakyat yang
mempunyai kebudayaan atau kultur, yakni buah budi atau buah kecerdasan jiwa
kita. Rakyat yang belum mempunyai kebudayaan itu belum boleh menyebut dirinya
dengan sebutan sebuah Bangsa”. (Ki Hadjar Dewantara,1962:341)
Bangsa Indonesia memiliki keaneka
ragaman budaya daerah mulai dari seni musik, tari, rupa seni bangunan, ritual
dan sebagainya, kemudian seni-seni asli Indonesia itu mulai tenggelam oleh
suatu seni hasil pergesekan budaya bangsa dengan budaya barat, kemudian
pergesekan itu menimbulkan sebuah budaya baru yaitu budaya pop gaya bangsa
Indonesia. Budaya baru atau budaya pop inilah yang kemudian paling berkembang
pada bangsa Indonesia khususnya kalangan generasi muda Bangsa.
Seperti berbondong-bondong generasi
muda mengejar mimpi untuk menjadi musisi terkenal, dengan harapan dapat
memiliki kehidupan material melimpah dan gaya hidup jet set. Mimpi ini
mempengaruhi segala tatanan nilai kebudayaan mereka di masyarakat. Hal ini yang
membuat penulis sedikit tergelitik untuk mengupas bagian kecil dari perilaku
generasi muda dalam mencari cara untuk mencapai mimpi-mimpi yang mereka ingin
ciptakan, salah satu dari para generasi
muda dalam mengejar mimpi mereka adalah mengadopsi suatu gerakan yang berasal
dari dunia Barat yaitu dinamakan gerakan
Indie label (underground), gerakan ini telah menjadi fenomena terutama pada
beberapa tahun ini.
A.
TENTANG
INDIEPOP
Secara
historis, indiepop merupakan varian atau subkultur dari punk yang mengalami transformasi dalam segi lirik dan musik. Muncul
sejak akhir 70-an lewat para musisi post-punk;
kemudian mengalami pembentukannya di pertengahan era 80, hingga merekah pada
akhir 80-an dan awal 90-an. Sampai sekarang, indiepop telah banyak mengalami
revolusi musikal yang beragam. Namun terlepas dari itu, substansi indiepop itu
sendiri sama dengan punk; ia adalah punk dengan jaket pop minimalis yang sangat
manis; indiepop kids (baca:
indiekids) adalah punk dengan sepatu keds dan pakaian sesukanya. Ia memiliki
ideologi, filosofis dan pola pikir yang independen, self-sustain dan self-indulgement.
Hal ini terlihat secara konkrit dari banyaknya label pop independen yang
merilis band atau musisi indiepop sepanjang awal 80-an sampai sekarang,
maraknya publikasi fanzine seperti
propaganda punk di pertengahan 70-an, acara radio,acara musik hidup dan lainnya.
Secara budaya, indiepop ter-komunal dan ter-majinalkan seperti halnya punk.
Para pelaku dan musisi indiepop membentuk berbagai komunitas yang tersebar
secara geografis dan terangkai secara komunikatif lewat fanzine
serta sederet lawatan antar kota, daerah dan negara.
a.1. Latar Indipop
Guna
mengetahui latar belakang indiepop, kita perlu menelusuri dulu sejarah indie
itu sendiri. Seperti diketahui, indie memang berasal dari kata independent.
Namun harus dibedakan antara independen sebagai :
1. status
artis, band atau minor label yang tidak dikuasai dikendalikan major label dan
2. independen dalam konteks indie sebagai
subkultur dan genre musik.
Untuk
pengertian (1), sejarahnya dimulai sejak awal abad 20 dengan kemunculan indie label seperti Vocalion atau Black Patti
yang kala itu berupaya mengikis dominasi major
label semacam Victor, Edison,
dsb. Walaupun independensi pada pola dan jaman itu tidak menjalin akar dengan
pengertian (2), mereka bertendensi serupa sebagai antitesis mainstream dengan
merilis musik kaum minoritas seperti blues, bluegrass, dsb. Tapi saat itu yang
terjadi sekadar rivalitas antara kapital kecil melawan kapital besar dan
pergerakannya tidak bersifat integral. Lalu di era 50-an mulai berkembang
wacana independen untuk memerdekakan kreatifitas dari intervensi kepentingan
industri.
Kendati demikian, kondisi yang tercipta tidak
menghasilkan karakter signifikan. Bipolarisasi terhadap arus utama belum
terwujud. Mereka memang berproduksi secara minor tapi iramanya masih mengacu ke
pola major label juga. Walaupun bermotif kebebasan berekspresi, mereka hanya
independen secara kapital dari major label namun orientasi musiknya tetap
setipe major label. Kecenderungan awam dalam menyikapi istilah indie adalah
menyamaratakan semua yang independen sebagai “indie”. Dengan demikian itu hanya
bertumpu ke unsur kata (independen) saja sebagai kemerdekaan secara harafiah
dan tanpa batas. Ada pula yang mempertanyakan “indie” dalam kapasitasnya
sebagai kebebasan mutlak. Padahal independensi dalam wacana (2) sangat berbeda
dengan (1). Artinya istilah indie sesungguhnya masih merujuk ke spesifikasi
tertentu. Indie akan mampu dipahami secara proporsional bila ditelusuri ke
konteks historis atau wacana terjadinya pembentukan istilah itu. Namun jarang
ada media yang mau menggali lebih dalam. Sehingga “indie” cenderung dikotakkan
sebagai musik laris manis yang cocok bagi selera awam. Sedangkan musik indie
sesungguhnya yang underrated malah diabaikan. Hal semacam itulah yang kerap
menimbulkan miskonsepsi publik bahwa “indie” semata-mata pola kerja dan
kemurnian idealisme. Bagaimana bila sebuah band beridealisme mainstream tapi
mereka berproduksi secara swadaya?, Apakah itu termasuk indie?, tentu tidak.
Karena independen secara minor label
atau self-released tidak menjamin
artis atau label itu berkarakter indie. Karena seseorang yang berjiwa
mainstream pun bisa saja menghasilkan karya berkarakter mainstream tapi dikemas
secara “Do-It-Yourself” dengan dalih
kebebasan ekspresi atau budget minim.
Kasusnya seperti gaya rambut suku indian mohawk yang sudah ada sebelum punk. Namun orang cenderung menggeneralisir semua gaya rambut mohawk sebagai representasi punk. Padahal tidak semua orang yang berambut mohawk menganut ideologi punk. Demikian pula halnya pada pemahaman minor label atau self-released yang disetarakan indie, padahal keduanya bukan parameter mutlak bagi status indie. Oleh karena itu, perlu ada pembelajaran bagi masyarakat agar mereka tidak latah terhadap istilah ‘indie’, artinya publik patut memahami bahwa segala sesuatu yang independen belum tentu indie dan indie belum tentu independen (secara label).
Sesungguhnya istilah indie sebagai independensi dalam pengertian (2) bermula dari identifikasi terhadap subkultur pop underground di Inggris yang berevolusi antara era punk hingga post-punk selama periode 1977 s/d 1986. 1977 ditandai oleh Nevermind the Bollocks-nya Sex Pistols dan 1986 melalui dirilisnya kaset kompilasi C86 yang menjadi bonus majalah New Musical Express (NME). Asal mula kata independent menjadi indie bermula dari tabiat anak-anak muda Inggris yang suka memotong kata agar mempermudah pelafalan informal seperti; distribution menjadi distro, british menjadi brit, dsb.
Kasusnya seperti gaya rambut suku indian mohawk yang sudah ada sebelum punk. Namun orang cenderung menggeneralisir semua gaya rambut mohawk sebagai representasi punk. Padahal tidak semua orang yang berambut mohawk menganut ideologi punk. Demikian pula halnya pada pemahaman minor label atau self-released yang disetarakan indie, padahal keduanya bukan parameter mutlak bagi status indie. Oleh karena itu, perlu ada pembelajaran bagi masyarakat agar mereka tidak latah terhadap istilah ‘indie’, artinya publik patut memahami bahwa segala sesuatu yang independen belum tentu indie dan indie belum tentu independen (secara label).
Sesungguhnya istilah indie sebagai independensi dalam pengertian (2) bermula dari identifikasi terhadap subkultur pop underground di Inggris yang berevolusi antara era punk hingga post-punk selama periode 1977 s/d 1986. 1977 ditandai oleh Nevermind the Bollocks-nya Sex Pistols dan 1986 melalui dirilisnya kaset kompilasi C86 yang menjadi bonus majalah New Musical Express (NME). Asal mula kata independent menjadi indie bermula dari tabiat anak-anak muda Inggris yang suka memotong kata agar mempermudah pelafalan informal seperti; distribution menjadi distro, british menjadi brit, dsb.
a.2. Istilah Independen
Di balik
pemendekan kata independen itu kemudian terkandung sebuah definisi kontekstual
indie yang menjadi basis pergerakan subkultural. Sehingga sejak masa itu tidak
sembarang makna independen secara umum bisa diasosiasikan dengan indie. Namun
hingga kini pun orang awam masih sering salah paham dengan menyamakan makna
indie indie dalam dengan independen dalam. Kenapa disebut indie? Sebab akhir
70-an hingga awal 80-an merupakan masa pancaroba dari musik punk ke arah
post-punk dan orang Inggris kala itu mulai menggunakan istilah tersendiri guna
menjuluki kecenderungan musik punk yang semakin pop, yakni: indie. Secara awam,
“Nevermind the Bollocks” adalah icon
kejayaan punk. Namun bagi musisi underground Inggris, album Sex Pistols tersebut justru menjadi batu
nisan bagi perlawanan punk yang sesungguhnya. Mereka menganggap irama punk
sudah menjadi terlalu klise. Karena itulah mereka kemudian mulai mengolah
referensi dari soul, folk, pop, dub, dan berbagai sound yang selama itu
dianggap sebagai musik lunak. Meskipun secara musikal karakter punk-nya mulai
berkurang, namun pendekatan maupun sikap mereka terhadap musik masih
menunjukkan anomali punk. Salah satu pelopornya justru vokalis Sex Pistols
sendiri, John Lydon, dengan eksperimen pop dia bersama Public Image Limited dan
sikap frontalnya dalam memprogandakan anti-rock movement. Pengertian anti-rock
di sini bukan berarti tidak ada unsur rock dalam musiknya, namun lebih kepada
pendobrakan stigma bahwa rock harus brutal, macho, cadas, dan gahar. Sikap
anti-rock ini sebenarnya juga merupakan turunan dari budaya mod di era 60-an
ketika generasi muda Inggris mulai “memberontak” dengan musik yang stylish dan
menentang segala atribut berbau rocker. Perkembangan dari sikap itulah yang
kemudian melahirkan sebuah pola estetika indie sebagai counter-culture terhadap
mainstream. Indie menjadi representasi anak-anak kutu buku berkaca mata tebal
yang mengeksplorasi punk sesuka mereka tanpa harus bergaya rocker atau punk.
Kelahiran indie juga mewakili wacana politik sayap kiri hingga feminisme di
scene musik underground. Scene ini menciptakan band-band pop yang punya sikap
maupun kepedulian sosial dalam bermusik dan tidak melulu berdagang lirik
asmara. Kalaupun menyerempet cinta, itupun masih dibalut oleh kepekaan politik
yang cerdas seperti Belle and Sebastian dalam “Marx and Engels” atau Camera
Obscura dalam “Anti- Western”.Secara
musikal, indie berakar dari improvisasi punk yang merambah independensi menuju
pop dan menentang stereotipe yang menganggap musik pemberontakan harus identik
dengan rock'n'roll. Sehingga lagu
yang mereka hasilkan pun tidak cukup pop untuk disebut pop namun juga tidak
cukup punk untuk disebut punk. Di sinilah terjadinya evolusi post-punk dan
proto-indiepop sampai menemukan karakternya sebagai indie. Buletin tahunan Billboard pada 1981 mencatat betapa
fenomena musik indie di Inggris mulai menunjukkan eksistensinya walaupun masih
sebatas wacana ekslusif. Kita bisa mencermati dokumentasi “24 Hours Party People”
ketika seseorang di akhir 70-an masih awam terhadap musik indie. Adegan
itersebut mengilustrasikan bagaimana istilah indie kala itu belum
tersosialisasi.
Pada 1981, NME juga merangkum eksistensi post-punk dalam kaset C81. Namun karena
aroma punk-nya masih dominan, kompilasi itu tidak terlalu membawa perubahan.
Pada pertengahan 80-an, sekelompok band indie yang memiliki keunikan musik sejenis sering berpentas di London Club Circuit. Kala itu yang menjadi pionir adalah The Pastels dan Primal Scream. Kesamaan mereka adalah sound 60’s melodic pop yang dikombinasikan dengan kemampuan sederhana untuk bermain instrumen. Mereka mendapat perhatian dari 2 pemilik club, Crane Canning dan Simon Esplen. Lalu NME yang tidak kenal lelah untuk mencari scene baru, dengan dibantu Canning dam Esplen, mulai mengompilasikan mereka guna memperkenalkan band-band baru ini dan menawarkan untuk dijadikan bonus eksklusif bagi tabloidnya. Kaset kompilasi inilah yang di kemudian hari dikenal sebagai C86 yang menjadi kiblat bagi musisi indiepop hingga sekarang. Ketika spesifikasinya kian kental dengan nuansa pop lalu musik itu mulai disebut indie.Namun komparasi pop dan punk pada masa itu berbeda dengan pop-punkmasa kini yang karakternya mainstream.
Pada pertengahan 80-an, sekelompok band indie yang memiliki keunikan musik sejenis sering berpentas di London Club Circuit. Kala itu yang menjadi pionir adalah The Pastels dan Primal Scream. Kesamaan mereka adalah sound 60’s melodic pop yang dikombinasikan dengan kemampuan sederhana untuk bermain instrumen. Mereka mendapat perhatian dari 2 pemilik club, Crane Canning dan Simon Esplen. Lalu NME yang tidak kenal lelah untuk mencari scene baru, dengan dibantu Canning dam Esplen, mulai mengompilasikan mereka guna memperkenalkan band-band baru ini dan menawarkan untuk dijadikan bonus eksklusif bagi tabloidnya. Kaset kompilasi inilah yang di kemudian hari dikenal sebagai C86 yang menjadi kiblat bagi musisi indiepop hingga sekarang. Ketika spesifikasinya kian kental dengan nuansa pop lalu musik itu mulai disebut indie.Namun komparasi pop dan punk pada masa itu berbeda dengan pop-punkmasa kini yang karakternya mainstream.
Bagaimanapun
format pop yang dieksplorasi oleh musisi indie dari masa ke masa, mereka tetap
bertahan dalam koridor non-mainstream karena menyadari statusnya sebagai
counter-culture terhadap mainstream. Dengan resistensi semacam itu, sebagian
besar dari mereka memilih untuk merekam dan merilis karya mereka sendiri atau
melalui minor label yang berhaluan indie. Namun fenomena ini kemudian
disalahpahami oleh orang awam bahwa indie semata-mata menunjukkan status
independensi sebuah band yang tidak dirilis oleh major label. Padahal sebelum
pergerakan indie muncul, sudah banyak band era 50/60-an yang merilis karya
mereka secara minor label dan itu tidak termasuk atau disebut indie. Sebaliknya
justru banyak juga band indie yang bernaung di major label. Pada awal
pencetusan di Inggris, sebenarnya pengertian indie dan indiepop mengacu pada
pemahaman yang sama. Artinya saat itu bila kata indie disebut/ditulis tanpa
imbuhan pop, anak-anak muda Inggris cukup mengerti spesikasi musiknya berupa
pop independen yang berakar dari punk. Setelah NME merilis C86 pada 1986,
indiepop mulai menemukan jati dirinya melalui kaset tersebut. Dari sinilah
muncul istilah C86 movement karena kompilasi itu menjadi fondasi pergerakan
sebuah subkultur yang kini dikenal sebagai indiepop. Secara koheren, indiepop
adalah pop yang berkarakter independen dalam pengertian (2), bukan (1). Band
indiepop tidak harus berada di minor label, mereka bisa dan boleh saja dirilis
oleh major label. Namun akan lebih ideal dan karismatik bila band tersebut
memilih bernaung di bawah indie label.
Eksponen
paling berpengaruh dalam gerakan C86 adalah Sarah Records. Mereka sebenarnya
bukan label indipop pertama. Sebelumnya sudah ada Cherry Red dan El Records
yang juga berkarakter indiepop. Namun secara pergerakan, reputasi Sarah Records menjadikannya pionir dan legenda
sebagai label yang sangat agitatif dan produktif dalam mempropagandakan
indiepop ke berbagai belahan bumi. Idealnya seorang musisi indiepop jaman
sekarang patut memahami Sarah Records dan sejarahnya karena inilah fundamen
dari scene yang dia jalani. Sedangkan di Amerika salah satu label indiepop paling
berpengaruh adalah K Records. Kalau Sarah Records dan scene indiepop Inggris
dikenal melalui pesan-pesan politisnya yang kekiri-kirian, Amerika lebih
bertumpu ke desentralisasi kultur pop. Mereka menekankan pentingnya kesadaran
dan kemauan para scenester untuk mewujudkan indiepop sebagai musik pop yang
bergerilya secara underground. Namun seperti uraian di atas, dalam
perkembangannya istilah indie mengalami perluasan makna akibat eksploitasi
media massa yang menjadikannya rancu. Secara general, definisi indie di
Indonesia cenderung dipublikasikan sebagai pola kerja mandiri semata. Padahal
esensi indie bukan sekadar kemandiriannya saja, namun lebih kepada Roots-Character-Attitude (RCA) yang
bertumpu pada resistensi terhadap mainstream. Sebagai contoh: The Smiths dan New Order dirilis oleh Warner
Music namun reputasinya masih diakui sebagai band indie karena RCA mereka
adalah indie. Bahkan secara
internasional indie diakui sebagai genre. Itu artinya, ada sebuah konsensus global
yang memahami indie dalam spesifikasi musik tertentu dan konsensus ini kemudian
semakin berkembang secara idiologis, artinya perkembangan konsensus ini telah
mengerucut kepada wilayah lain selain
musik sampai kepada kehidupan sehari-hari.
a.3. Makna
Indie
Ketika
makna indie diperluas sampai musik brutal atau extreme, ekperimantal, atau cutting edge non-pop, pemakaian istilah
itu masih relevan karena sifatnya sebagai sesama budaya tandingan dari
mainstream. Namun penggunaan kata indie sangat tidak tepat bila disandang band
yang memainkan musik pop mainstream ketika mereka merekam/merilis lagunya
sendiri. Karena bagaimanapun juga musik mereka bukan indie walaupun pola
produksinya seperti “indie”. Lalu bagaimana menentukan band itu indie atau
bukan? Disinilah arti penting parameter RCA yang telah disebutkan tadi. Guna
mendistribusikan rekaman indie, para scenester (aktivis musik) indie membangun
jalur distribusi di luar sistem mainstream yang kemudian dikenal sebagai
distro. Dengan demikian, indiepop sebenarnya menerapkan unsur-unsur budaya
resistensi punk walaupun para pelakunya tidak berdandan ala punk. Keistimewaan
indie terletak pada jaringan kerjanya. Indie tanpa networking akan menjadi
benteng tanpa prajurit. Dalam relasinya indie cenderung lebih mengedepankan
unsur humanis. Dukungan mutualisme semacam ini sebenarnya adalah warisan dari 3
dekade silam ketika indie label yang lebih besar memberi dukungan kepada indie
label yang lebih kecil untuk berkembang lebih pesat tanpa mengawatirkan
rivalitas pasar. Indie bergerak kepada orientasi pendengar yang segmentatif.
Kalaupun akhirnya mendapat respon luas, itu dianggap senagai bonus saja. Faktor
penentunya adalah sikap artis/band indie tersebut ketika mulai dikenal secara
luas. Mereka harus lebih bijak dalam menjaga pakem agar karakternya tidak
terseret menjadi pasaran atau kacangan.
Bisa dibilang indie yang ideal adalah indie yang ekslusif. Bahkan bagi anak-anak indiepop: semakin eksklusif sebuah band, semakin layak band itu dijadikan panutan. Namun ekslusif di bukan berkonotasi negatif. Eksklusivitas dalam indiepop bukan berarti perbedaan kelas secara sosial/ekonomi/budaya, namun lebih kepada perlindungan dari eksploitasi mainstream. Salah satu contoh band indie lokal yang paling ideal adalah Pure Saturday. Mereka punya fanbase yang solid di komunitas indie tapi secara mainstream mereka tidak terekspos. Eksploitasi yang berlebihan justru akan memudarkan musik indie itu sendiri. Ibarat warna, indie adalah abu-abu yang tidak selayaknya menjadi hitam atau putih. Indiepop perlu dikenal tapi tidak menjadi terkenal secara berlebihan. Sebenarnya publikasi yang luas bagi indiepop hanyalah untuk menjangkau dan mempersatukan fanbase yang sporadis. Namun seringkali eksesnya justru menjadikan indie terjerat oleh budaya latah, apalagi di Indonesia. Publik cenderung memanipulasi makna independensi secara mutlak dalam tafsir etimologi semata. Karena itulah makna indie di Indonesia menjadi simpang siur akibat pemaknaan independen secara harafiah tanpa pakem ideologis. Padahal secara global indie sudah diakui sebagai genre, bukan sekadar pola kerja. Sebagaimana relevansinya dengan indie secara subkultur, indiepop adalah pop independen yang menjadi counter-culture terhadap pop mainstream. Namun pengertian pop yang independen jangan disalahpahami sebagai kemerdekaan absolut karena indiepop tetap mengacu pada pakem tertentu. Parameter tersebut adalah RCA yang mengacu pada sub-kultur indiepop itu sendiri.Singkatnya indie adalah etos cutting edge, avant garde atau budaya kreatif yang menjadi alternatif dari pola-pola musik pada umumnya.
Bisa dibilang indie yang ideal adalah indie yang ekslusif. Bahkan bagi anak-anak indiepop: semakin eksklusif sebuah band, semakin layak band itu dijadikan panutan. Namun ekslusif di bukan berkonotasi negatif. Eksklusivitas dalam indiepop bukan berarti perbedaan kelas secara sosial/ekonomi/budaya, namun lebih kepada perlindungan dari eksploitasi mainstream. Salah satu contoh band indie lokal yang paling ideal adalah Pure Saturday. Mereka punya fanbase yang solid di komunitas indie tapi secara mainstream mereka tidak terekspos. Eksploitasi yang berlebihan justru akan memudarkan musik indie itu sendiri. Ibarat warna, indie adalah abu-abu yang tidak selayaknya menjadi hitam atau putih. Indiepop perlu dikenal tapi tidak menjadi terkenal secara berlebihan. Sebenarnya publikasi yang luas bagi indiepop hanyalah untuk menjangkau dan mempersatukan fanbase yang sporadis. Namun seringkali eksesnya justru menjadikan indie terjerat oleh budaya latah, apalagi di Indonesia. Publik cenderung memanipulasi makna independensi secara mutlak dalam tafsir etimologi semata. Karena itulah makna indie di Indonesia menjadi simpang siur akibat pemaknaan independen secara harafiah tanpa pakem ideologis. Padahal secara global indie sudah diakui sebagai genre, bukan sekadar pola kerja. Sebagaimana relevansinya dengan indie secara subkultur, indiepop adalah pop independen yang menjadi counter-culture terhadap pop mainstream. Namun pengertian pop yang independen jangan disalahpahami sebagai kemerdekaan absolut karena indiepop tetap mengacu pada pakem tertentu. Parameter tersebut adalah RCA yang mengacu pada sub-kultur indiepop itu sendiri.Singkatnya indie adalah etos cutting edge, avant garde atau budaya kreatif yang menjadi alternatif dari pola-pola musik pada umumnya.
Seiring perkembangan corak
musik, indiepop masa kini secara musikal memang tidak lagi sarat dengan punk.
Namun etos punk masih dan akan selalu dianut olah para musisi indiepop di
belahan dunia manapun. Dengan musik yang sangat catchy dan selling,
sebenarnya banyak band indiepop yang berpeluang besar untuk menjadi artis
jutaan kopi dengan menawarkan demo ke major label. Namun mereka tidak melakukan
itu karena orientasi mereka bukan sekadar popularitas dan kemewahan, namun
lebih kepada kepuasan personal dan idealisme dalam berkarya. Bahkan ada yang
menolak tawaran manggung hanya karena skala pentas dan panggungnya terlalu
besar.
Sikap semacam itu pun banyak ditunjukkan band
indiepop lainnya dengan menjaga jarak dengan pers umum. Inilah contoh sikap
punk yang berbeda dari stereotipe artis mainstream. Musisi lokal yang memang
ingin menjadi indie seharusnya banyak belajar dari situ sehingga mereka tidak
menjadi popstar wannabe yang terobsesi gemerlap popularitas secara mainstream.
Kurt Cobain bisa jadi contoh ideal sebagai figur musisi indie karena dia malah
depresi saat musiknya kian terkenal dan pasaran. Indiepop mengajarkan pada kita
bahwa pop tidak diukur dari sebarapa banyak rekaman yang terjual atau seberapa
banyak penggemarnya. Ketika industri mainstream menganggap musik yang bagus
harus dilegitimasi oleh trend massal dan dominasi chart, indiepop secara murni
menghargai musisi dari musiknya, bukan dari popularitas.
B. GERAKAN
INDIE LABEL SEBAGAI ALTERNATIF PADA PERKEMBANGAN INDUSTRI MUSIK POP DAN PERANAN
PENDIDIKAN MUSIK TERHADAP GERAKAN INI
b.1. Perkembangan Industri Musik Pop
Setiap
hari kita bisa menyaksikan ditelevisi, radio atau acara pertunjukan musik yang
dilakukan oleh sponsor besar ataupun sponsor kecil. Munculnya kelompok-kelompok
musik baru ini layaknya seperti jamur di
musim hujan. Beragam kelompok musik ini satu sama lainnya hampir memiliki
kesamaan secara warna musik, mereka bersaing untuk memperebutkan massa sebagai
penggemar musik mereka. Perkembangan musik tanah air saat ini berbeda dengan
era tahun 80-an, pada era 80-an untuk bisa tampil di televisi atau masuk dapur
rekaman tidak semudah seperti sekarang ini, pada masa itu seorang penyanyi atau
kelompok musik harus melalui perjalanan berliku untuk dapat tampil di televisi atau
bisa diterima oleh perusahaan rekaman (major label) kondisi yang begitu sulit membuat kompetisi petualang seni pop
ini begitu ketat karena kondisinya demikian maka kemunculan para musisi masa
ini cukup tersaring dengan baik.
b.2. Istilah Pop
Pada masa tahun 2003 sampai sekarang
kemunculan para kelompok musik maupun penyanyi begitu mudah dan mudah pula
tenggelamnya, hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran kemajuan teknologi media
yang sangat pesat, selain banyaknya media televisi, tabloid, juga pengaruh
teknologi komunikasi lain semacam handphone dan enternet. Dengan handphone dan
enternet kita dengan mudah dapat menyebarkan karya kita kepada masyarakat
secara luas, kita dapat mengakses segala macam informasi tentang musik industri,
mulai dari perkembangan secara musik, teknologi, managemen sampai event-event pertunjukan,
masalahnya adalah tinggal beruntung atau
tidak, ada beberapa kelompok musik kemudian menjadi terkenal karena kemajuan
teknologi.media tersebut. Sebelum kita mengupas lebih dalam mengenai musik pop,
ada beberapa hal dan konotasi mengenai istilah pop itu sendiri.
1-“pop music”-istilah ini mengarah kepada
tingkat popularitas sebuah music, Musik pop hanya merupakan music
yang”populer”. Dengan demikian istilah ini tidak berlaku
untuk”entertainment”(musik hiburan) saja, sebab bisa saja simponi-simponi dari
Beethoven atau Tschaikowski dinikmati
dari lebih banyak orang di bandingkan dengan lagu music entertainment masa
kini.(apresiasi music pop-populer;6 ) Dieter Mack
2-sebuah jenis music, yang kadang-kadang
berhubungan dengan “Schaleger Jerman” (“Schalager” berasal dari istilah
“schalagen-memukul”, yang dimaksud adalah sebuah lagu sederhana yang langsung
menarik perhatian banyak orang. Istilah ini berkaitan dengan berbagai jenis di
Jerman saja-teks dalam bahasa Jerman-dengan tema cinta, gaya kasar. Di Inggris,
music Cliff Richard tau group Tremoloes misalnya sama saja, hanya teks dalam
bahasa Inggris. Di Indonesia kebanyakan music dengan merek pop kurang lebih
sama saja….. (apresisai music pop-popular; 6) Dieter Mark.
Dari
kutipan di atas ternyata fenomena musik pop sudah ada sejak lama di negara
Barat, dan sebagai gambaran lebih jelas dapat kita lihat pada kutipan kedua.
Artinya dapat disimpulkan bahwa budaya pop dalam hal ini musik tidak bisa
dilepaskan dari industri, kemudian industri merupakan suatu usaha mencari
keuntungan sebesar-besarnya. Musik pop tercipta berdasarkan kesukaan pasar,
dibuat mudah, dapat segera dicerna oleh masyarakat sehingga dengan demikian
musik ini kemudian dapat menguntungkan industri musik itu sendiri sebagai
pemberi modal.
Namun,
walaupun perkembangan teknologi media masa nampak semakin maju secara
signifikan, tidak berarti para pejuang seni pop tersebut dapat begitu mudah
masuk kedalam wilayah indutri rekaman. Begitu banyak kelompok musik yang kurang
beruntung dalam persaingan di industri musik pop tersebut, sehingga dengan
adanya fenomena ini terbentuklan suatu gerakan bagi kelompok musik yang kurang
beruntung dan tidak memiliki koneksi, yaitu gerakan Indie label, gerakan ini merupakan gerakan underground (bawah tanah) sedangkan dunia industri musik dalam
kekuasaan modal besar dan memiliki kewenangan untuk menentukan musik pop mana
yang harus di popularkan disebut kelompok Major
Label. Gerakan indie label sesungguhnya sudah lama berkembang di dunia
Barat, mulai di Inggris pada tahun
70-an kemudian menyebar ke negara lain mulai dari Perancis, Jerman, Belanda
sampai ke Amerika. Gerakan Indie label merupakan suatu gerakan adopsi dari
Negara barat dan kemudia menyebar ke Indonesia, di Indonesia gerakan ini
dimulai pada tahun 1990-an, gerakan ini dimulai dari salah satu kota besar di
Indonesia, tepatnya wilayah Surabaya Jawa Timur. Sebagai pionir, Surabaya
mengakomodirnya dalam bentuk pertunjukan-pertunjukan musik dengan cara
mengundang kelompok-kelompok musik dari wilayah Indonesia lainnya. Penggagas gerakan
ini dalam bentuk konkrit tadi adalah seorang pengusaha muda keturunan China dan
penggemar musik rock bernama Log Zelebor. Bisalah dikata Log Zelebor sebagai
salah satu tokoh penting di dalam gerakan musik indie label di Indonesia.
b.3. Musik Indie Label di Indonesia
Pada tahun 1990-sampai 2000,
Surabaya masih merupakan basis dari gerakan indie label di Indonesia. Pada saat
itu log zelebor mengakomodir kelompok
musik rock di Indonesia dari berbagai propinsi di dalam sebuah ajang festival
musik rock secara rutin dilaksanakan setiap tahun. Festival ini begitu sangat
bergengsi, sebab untuk grup band yang masuk sepuluh besar dibuatlah kompilasi
dengan biaya oleh log zelebor secara pribadi dan beberapa sponsor rokok.
Rekaman kompilasi ini ternyata mampu membuat pihak major label mulai melirik
secara sungguh-sungguh, sehingga jebolan dari hasil gerakan indie label
tersebut mulai masuk ke wilayah major
label, contoh: kelompok musik Jamrud, Boomerang. Beberapa tahun yang lalu
dua kelompok ini pernah mengalami masa kejayaan dalam industri musik pop di negara
kita ini.
Memasuki tahun 2001 sampai sekarang
terjadi pergeseran jenis musik pop, yang tadinya jenis musik rock sekarang lebih beragam. Bandung
merupakan barometer untuk gerakan musik indie label sekarang ini. Kelompok band
di Bandung begitu banyak, hampir setiap kampung mempunyai beberapa kelompok
band. Di Bandung komunitas anak muda
dengan gerakan indie label ini tidak
hanya di dalam musik saja akan tetapi merambah ke gaya hidup, mulai dari cara
berpakaian, riasan wajah, rambut, sepatu, tattoo sampai perilaku sosial. Hal
ini membuat kota Bandung menjadi kota
rujukan untuk kota-kota lainnya di Indonesia sebagai barometer untuk musik indie label dan gaya hidup. Kelompok
musik indie label di Bandung mempunyai komunitas yang lebih
beragam di banding di kota-kota lain di Indonesia, outlet indie label begitu banyak tersebar di kota ini, outlet ini
menyediakan lagu-lagu karya mereka berikut aksesoris (poster, kaos, kalung,
cincin, sepatu,syal dll) sebagai trade-mark
dari kelompok musik indie label
tersebut, sehingga orang tidak hanya dapat mendengarkan musik suatu kelompok indie tetapi dapat pula memiliki
aksesoris sebagai lambang atau ciri khas dari suatu kelompok musik. Kelompok
musik indie di bandung mempunyai komunitas kalangan anak muda terpelajar,
misalnya: untuk kelompok mahasiswa mereka didukung oleh kawan-kawanya berlatar
belakang seni rupa, maka kawan mereka dengan latar belakang seni rupa ini akan
membantu dengan memberikan sumbangan dalam bentuk membuatkan gambar-gambar
ilustrasi yang menarik dalam mewakili kelompok mereka , pola kerjasama secara
kolektif inilah yang membuat gerakan indie
label di Bandung lebih semarak dan kemudian memiliki ke-khasan sendiri.
Kemudian selain toko-toko kecil atau lebih dikenal dengan nama outlet, kelompok musik indie label ini pun
membangun komunitasnya dengan cara bergabung dan berkolaborasi dengan
kelompok penggemar lainnya, misalnya kelompok olah raga, motor, mobil dan
sebagainya. Dalam hal ini dapat kita ambil contoh salah satu kelompok musik Bandung
yang telah dilirik dan masuk kewilayah major
label yaitu: Pas Band, kelompok musik ini telah memiliki penggemar fanatic,
yaitu kelompok anak-anak skateboard,
dan anak-anak sepeda BMX. Penggemar mereka ini telah terbentuk sebelum mereka
masuk ke wilayah major label, oleh
karena kelompok ini telah memiliki penggemar banyak dan dilihat sudah cukup
menguntungkan maka pihak major label
menarik mereka masuk ke dalam dunia industri.
Gerakan indie label sekarang telah menjadi alternative dan telah menjadi pilihan penting bagi kalangan pemusik muda sebagai jembatan
untuk dapat masuk major label dalam budaya pop. Bandung adalah inspirasi bagi wilayah
lain di Indonesia dalam membangun
semangat musik indie atau indie label, walaupun di satu sisi nilai
idealismenya tergerus oleh persoalan laku atau tidak laku musik yang mereka
buat, banyak penggemar atau tidak ,
nilai dari semua ini hanyalah masalah materi dan popularitas saja , mimpi yang
paling utama dari gerakan ini cenderung
bergeser hanya kepada mengejar dapat
hidup mapan, dielu-elukan, mempunyai banyak fans dsb. Kita sebagai guru musik
yang dapat memberikan wacana dan wawasan kepada masyarakat bangsa ini untuk
generasi selanjutnya, dengan melakukan peran kita sebagai pendidikan musik
secara total dan sungguh-sungguh. Sehingga suatu hari, pengetahuan dan tingkat apresiasi masyarakat bangsa ini
lebih baik kemudian masyarakat itu sendiri yang akan menilai mana sajian musik yang
bermutu dan mana yang tidak bermutu, kemudian dimanakah musik kita
sesungguhnya, bagaimanakah peranan dunia pendidikan dalam mensikapi perkembangan
budaya musik pop terhadap nilai kebangsaan.
C.
Peranan
Pendidikan musik di sekolah terhadap gerakan indie label
Di
dalam kurikulum sekolah terdapat mata pelajaran seni, didalamnya merupakan
pelajaran seni musik, seni rupa dan dan
seni tari, pelajaran seni ini sudah dimulai sejak usia balita, dengan kurikulum
yang selalu berganti , seringnya pergantian kurikulum ini menandakan pemerintah dalam hal ini pihak dinas
pendidikan begitu memperhatikan atau hanyalah sebagai suatu kepentingan proyek saja.Kurikulum paling mutakhir
sekarang ini adalah ktsp (kurikulum tingkat satuan pelajaran ) didalam
kurikulum ini guru diberikan kemerdekaan
seluas-luasnya, di dalam mencari metode terbaik bidang studinya masing-masing, bagaimana guru
dapat melakukan percobaan-percobaan lebih bebas terhadap bidang seni yang
terdapat disekelilingnya sehingga
muncullah apa yang disebut muatan lokal. Hal ini merupakan suatu usaha besar
yang didasari oleh karena semakin terasanya suatu gejala dimana kesadaran
terhadap akar budaya atau nilai-nilai seni local semakin tergeser oleh budaya
Barat, halnya gerakan kaum muda kearah semangat budaya barat seperti yang
dijelaskan diatas. Untuk dasar pendidikan musik pada anak-anak dapat kita lihat
seperti kutipan ini:
“untuk anak-anak kecil, sampai kala umur 8 tahun,djanganlah memakai
“not” ; karena pada umur itu peladjaran njanjian itu masih kita pakai selaku
pendidikan panja indera (guna menjempurnakan pendengaran). Menurut maksud dan
tudjuan”latihan pandja indera”, maka perlu sekali kanak-kanak itu senantiasa
membanding-bandingkan (suaranja sendiri
dengan suaranja jang menuntun, guru). Wiramanja harus jang agak tjepat, sesuai
dengan tabiatnja anak-anak: djadi djangan setjara njajiannja orang-orang tua
atau pesinden dan sebagainja. Djuga lagunja, wiletnja, tjengkoknja haruslah
sesuai dengan wataknja anak-anak (sederhana, mudah disuarakan, djangan terlalu
tinggi atau terlalu rendah). Baiklah jang dipeladjarkan itu lagu-lagu “dolanan”
dalam umumnja”’ (1962:340) Ki Hadjar Dewantara.
Pendidikan
musik pada anak-anak begitu sangat pentingnya, musik tidak semata-mata hanya
untuk kepentingan menina bobokan anak dari kesedihannya, musik merupakan suatu media untuk memberikan
wawasan keindahan, sensitifitas dan kreativitas pendidik musik
dalam hal ini seorang guru membutuhkan metode dan strategi yang cocok
dalam mengajarkan musik kepada siswa, bagaimana seorang guru harus melihat
lingkungan sosial siswa kemudian mencari strategi yang cocok untuk memberikan
pelajaran tersebut. Pengaruh industri musik telah masuk ke dunia pendidikan
lebih dalam dan tanpa ada sesuatu yang dapat menyaring semua itu, begitu sulit
bagi orang tua dan sekolah untuk dapat melarang anak mendengarkan musik yang
bukan konsumsi mereka. Hal inilah yang merupakan tanggung jawab para pemikir
pendidikan musik untuk mencari strategi bijak di dalam menyikapi fenomena yang
begitu nyata pada pendidikan bangsa ini, terutama untuk generasi yang baru akan
tumbuh berkembang. Produksi lagu anak tidak begitu popular pada saat sekarang,
sementara acara televisi yang merupakan sarana publikasi massa adalah bukti
nyata akan begitu gencarnya tayangan musik dengan tujuan hanyalah untung dan
rugi saja, tanpa berfikir tentang dampaknya terhadap generasi muda yang akan
menjadi penerus demi kemajuan bangsa ini. Kebudayaan pop sesungguhnya bisa di
sikapi dengan mengadopsi gerakan indie label apalagi saat ini teknologi
komputerisasi sebagai salah satu sarana yang bisa di manfaatkan oleh sekolah di
dalam meningkatkan kreativitas siswa, misalnya hasil kreasi siswa sekolah di rekam
kemudian dijadikan ajang untuk merespon ekspansi industri musik, siswa
memerlukan eksistensi baik secara individu maupun kelompok. Di dalam
meningkatkan potensi siswa ini kita dapat mengmbil sebuah model belajar yang
bernama contextual teaching and learning
model ini di ciptakan oleh: Elaine B. Jhonson,Ph.D di dalam model ini
diciptakan strategi bagaimana menjadikan kegiatan belajar menjadi mengasyikkan
dan bermakna. Musik merupakan sesuatu yang mengasyikkan dan tentu harus
bermakna, persoalannya bagaimana kegiatan belajar itu dapat mencapai tujuan
seperti yang diharapkan, di dalam model contextual
Teaching Learning ada definisi yang kemudian menjadi dasar pemikiran model
ini, yaitu :
“Sistem
ctl adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan melihat makna didalam materi
akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik
dengan konteks dalam kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan konteks keadaan
pribadi, sosial dan budaya mereka”.( Elaine B. Jhonson, 2004:15)
Dari
kutipan diatas dapat kita kaji betapa konteks kehidupan siswa sehari-hari, yaitu
ketika mereka di rumah dan ketika mereka bermain bersama kawan-kawan mereka di
rumah dan luar rumah merupakan hal yang sangat mempengaruhi pribadi mereka, karena lingkungan di luar sekolah
adalah hal yang sangat memberikan kontribusi terhadap perkembangan sosial dan
kebudayaan mereka. Artinya, ketika dunia industri musik yang berada di likungan
siswa dan bagaimanapun bentuk musik itu maka itulah yang mempengaruhi mereka
ketika berada di sekolah. Oleh karena itu, ctl melihat ini sebagai satu kesatuan di dalam
kegiatan belajar dan sekolah harus mengakomodasi suasana diluar sekolah
sehingga sekolah menjadi sistem kehidupan yang lebih baik. Ketika sekolah telah
dapat menjadi tempat para generasi muda mengembangkan potensinya, maka sekolah
telah menjadi kontrol sosial terhadap bentuk kebudayaan yang diciptakan oleh
industri kapitalis dalam hal ini musik pop. Gerakan independen bisa diciptakan
di lingkungan sekolah, siswa dapat memproduksi, mempertunjukkan semua hasil ide
kreatif musik mereka sehingga siswa dapat memaknai apa yang sesungguhnya dapat
mereka perbuat dan apa yang dapat mereka lakukan di dalam lingkungan
sekitarnya. Hal ini dapat dicapai ketika
siswa telah dapat memahami fenomena budaya dan kemudian mereka mulai akan
menyadari pentingnya mempunyai kebudayaan sendiri, bukan sebuah kebudayaan
adaptasi tanpa karakter sama sekali, dan salah satu strategi di dalam
menciptakan olah pikir seperti ini adalah dengan gerakan indie label. Sikap independensi merupakan suatu sikap yang
seharusnya ditumbuhkan sejak usia dini, sikap generasi muda yang memiliki nilai
nasionalis ini akan menumbuhkan rasa kecintaan terhadap budaya, kecintaan
inilah yang akan menjadi dasar terhadap pembangunan karakter budaya bangsa.
Pendidikan seni di sekolah adalah
suatu hal yang sangat strategis di dalam menanamkan pengetahuan tentang
kekayaan budaya bangsa. Pemerintah telah berupaya dengan berbagai macam
kurikulum, sebagai contoh adalah dengan memasukkan muatan lokal di dalam
kegiatan belajar mengajar di sekolah. Namun sebaik apapun kurikulum pendidikan,
tidak akan berjalan dengan baik jika sumber daya manusia dalam hal ini guru
tidak melaksanakan kegiatan belajar-mengajar tersebut secara
bersungguh-sungguh.
D.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Pengaruh kebudayaan barat begitu
mendominasi perilaku generasi muda bangsa, begitu banyak faktor yang
mengakibatkan semua hal ini terjadi, media masa, kemajuan teknologi informasi
dan perkembangan politik juga memiliki pengaruh besar. Era perdagangan bebas
membuat semua ini sangat sulit di saring, sehingga tugas para pendidik yang
kemudian akan memberikan pengetahuan pada kegiatan belajar mengajar menjadi
sangat berat pada tataran tanggung jawab. Hal ini disatu sisi merupakan tantangan
yang sangat menarik dan harus di carikan strategi dengan pemikiran yang
sungguh-sungguh, disisi lain kerjasama antar instansi terkait tentunya harus
berjalan seimbang dan relevan.
Begitu banyak cara telah ditempuh di
dalam dunia pendidikan terhadap arus kebudayaan pop yang berasal dari dunia
barat ini. Cara dalam bentuk model pengajaran, kebijakan pendidikan dan
strategi pendidikan yang jitu telah dilakukan. Hal ini patut dihargai dan
diteruskan, memang jika kita berharap untuk terjadi perubahan secara tiba-tiba
sesuai dengan pemikiran hal itu tidak mungkin tercapai, setidaknya sesuatu yang
telah dilakukan oleh pemikir-pemikir pendidikan dan oleh pelaku pendidikan
dapat memberikan atmosfir menuju arah yang lebih baik. Oleh karenanya tulisan
ini hanyalah semacam reportase yang memiliki kekurangan disana-sini. Oleh
karenanya, besar harapan penulis untuk dapat diberikan kritik dan masukan
terhadap kekurangan tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
B.Johnson. Eline. (2007). Contextual Teaching and Learning. Bandung:
MLC
Dryden Gordon. (2000). The Learning Revolution. Bandung: Kaifa
Dewantara Ki
Hadjar(1962). Pendidikan 1.
Jogjakarta:……..
Mack Dieter. (1993).Apresiasi Seni-Musik Populer. Diktat
Seni Musik: IKIP Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar