Minggu, 20 April 2014

Indie Label, Mayor Label, pendidikan musik dan apakah itu?



PENDAHULUAN


            Kebudayaan adalah hasil karya dan karsa manusia kemudian menjadi ciri khas suatu komunitas, kebudayaan Indonesia begitu kaya raya namun kemudian kekayaan itu satu-persatu tenggelam, ada yang diambil oleh bangsa lain dan ada yang mati terkubur kemudian musnah tak berbekas. Ada apa dengan semua ini?
Persoalan yang paling mendasar pada bangsa kita ini adalah krisis akar budaya, begitu banyak kesenian kemudian menjadi punah karena disebabkan tidak adanya regenarasi. Pendidikan merupakan wilayah yang paling bertanggung jawab terhadap persoalan ini. Pemikiran terhadap kebudayaan bangsa ini sejak lama telah berkembang, seperti ungkapan bijak di bawah ini :
Bangsa , yaitu rakyat yang mempunyai kebudayaan atau kultur, yakni buah budi atau buah kecerdasan jiwa kita. Rakyat yang belum mempunyai kebudayaan itu belum boleh menyebut dirinya dengan sebutan sebuah Bangsa”. (Ki Hadjar  Dewantara,1962:341)
            Bangsa Indonesia memiliki keaneka ragaman budaya daerah mulai dari seni musik, tari, rupa seni bangunan, ritual dan sebagainya, kemudian seni-seni asli Indonesia itu mulai tenggelam oleh suatu seni hasil pergesekan budaya bangsa dengan budaya barat, kemudian pergesekan itu menimbulkan sebuah budaya baru yaitu budaya pop gaya bangsa Indonesia. Budaya baru atau budaya pop inilah yang kemudian paling berkembang pada bangsa Indonesia khususnya kalangan generasi muda Bangsa.
            Seperti berbondong-bondong generasi muda mengejar mimpi untuk menjadi musisi terkenal, dengan harapan dapat memiliki kehidupan material melimpah dan gaya hidup jet set. Mimpi ini mempengaruhi segala tatanan nilai kebudayaan mereka di masyarakat. Hal ini yang membuat penulis sedikit tergelitik untuk mengupas bagian kecil dari perilaku generasi muda dalam mencari cara untuk mencapai mimpi-mimpi yang mereka ingin ciptakan, salah satu dari  para generasi muda dalam mengejar mimpi mereka adalah mengadopsi suatu gerakan yang berasal dari dunia Barat yaitu  dinamakan gerakan Indie label (underground), gerakan ini telah menjadi fenomena terutama pada beberapa tahun ini.
A.    TENTANG INDIEPOP
Secara historis, indiepop merupakan varian atau subkultur dari punk yang mengalami transformasi dalam segi lirik dan musik. Muncul sejak akhir 70-an lewat para musisi post-punk; kemudian mengalami pembentukannya di pertengahan era 80, hingga merekah pada akhir 80-an dan awal 90-an. Sampai sekarang, indiepop telah banyak mengalami revolusi musikal yang beragam. Namun terlepas dari itu, substansi indiepop itu sendiri sama dengan punk; ia adalah punk dengan jaket pop minimalis yang sangat manis; indiepop kids (baca: indiekids) adalah punk dengan sepatu keds dan pakaian sesukanya. Ia memiliki ideologi, filosofis dan pola pikir yang independen, self-sustain dan self-indulgement. Hal ini terlihat secara konkrit dari banyaknya label pop independen yang merilis band atau musisi indiepop sepanjang awal 80-an sampai sekarang, maraknya publikasi fanzine seperti propaganda punk di pertengahan 70-an, acara radio,acara musik hidup dan lainnya. Secara budaya, indiepop ter-komunal dan ter-majinalkan seperti halnya punk. Para pelaku dan musisi indiepop membentuk berbagai komunitas yang tersebar secara geografis dan terangkai secara komunikatif  lewat fanzine serta sederet lawatan antar kota, daerah dan negara.
a.1.  Latar Indipop
Guna mengetahui latar belakang indiepop, kita perlu menelusuri dulu sejarah indie itu sendiri. Seperti diketahui, indie memang berasal dari kata independent. Namun harus dibedakan antara independen sebagai :
1.      status artis, band atau minor label yang tidak dikuasai dikendalikan major label dan
2.       independen dalam konteks indie sebagai subkultur dan genre musik.
Untuk pengertian (1), sejarahnya dimulai sejak awal abad 20 dengan kemunculan indie label seperti Vocalion atau Black Patti yang kala itu berupaya mengikis dominasi major label semacam Victor, Edison, dsb. Walaupun independensi pada pola dan jaman itu tidak menjalin akar dengan pengertian (2), mereka bertendensi serupa sebagai antitesis mainstream dengan merilis musik kaum minoritas seperti blues, bluegrass, dsb. Tapi saat itu yang terjadi sekadar rivalitas antara kapital kecil melawan kapital besar dan pergerakannya tidak bersifat integral. Lalu di era 50-an mulai berkembang wacana independen untuk memerdekakan kreatifitas dari intervensi kepentingan industri.
 Kendati demikian, kondisi yang tercipta tidak menghasilkan karakter signifikan. Bipolarisasi terhadap arus utama belum terwujud. Mereka memang berproduksi secara minor tapi iramanya masih mengacu ke pola major label juga. Walaupun bermotif kebebasan berekspresi, mereka hanya independen secara kapital dari major label namun orientasi musiknya tetap setipe major label. Kecenderungan awam dalam menyikapi istilah indie adalah menyamaratakan semua yang independen sebagai “indie”. Dengan demikian itu hanya bertumpu ke unsur kata (independen) saja sebagai kemerdekaan secara harafiah dan tanpa batas. Ada pula yang mempertanyakan “indie” dalam kapasitasnya sebagai kebebasan mutlak. Padahal independensi dalam wacana (2) sangat berbeda dengan (1). Artinya istilah indie sesungguhnya masih merujuk ke spesifikasi tertentu. Indie akan mampu dipahami secara proporsional bila ditelusuri ke konteks historis atau wacana terjadinya pembentukan istilah itu. Namun jarang ada media yang mau menggali lebih dalam. Sehingga “indie” cenderung dikotakkan sebagai musik laris manis yang cocok bagi selera awam. Sedangkan musik indie sesungguhnya yang underrated malah diabaikan. Hal semacam itulah yang kerap menimbulkan miskonsepsi publik bahwa “indie” semata-mata pola kerja dan kemurnian idealisme. Bagaimana bila sebuah band beridealisme mainstream tapi mereka berproduksi secara swadaya?, Apakah itu termasuk indie?, tentu tidak. Karena independen secara minor label atau self-released tidak menjamin artis atau label itu berkarakter indie. Karena seseorang yang berjiwa mainstream pun bisa saja menghasilkan karya berkarakter mainstream tapi dikemas secara “Do-It-Yourself” dengan dalih kebebasan ekspresi atau budget minim.
Kasusnya seperti gaya rambut suku indian mohawk yang sudah ada sebelum punk. Namun orang cenderung menggeneralisir semua gaya rambut mohawk sebagai representasi punk. Padahal tidak semua orang yang berambut mohawk menganut ideologi punk. Demikian pula halnya pada pemahaman minor label atau self-released yang disetarakan indie, padahal keduanya bukan parameter mutlak bagi status indie. Oleh karena itu, perlu ada pembelajaran bagi masyarakat agar mereka tidak latah terhadap istilah ‘indie’, artinya publik patut memahami bahwa segala sesuatu yang independen belum tentu indie dan indie belum tentu independen (secara label).
Sesungguhnya istilah indie sebagai independensi dalam pengertian (2) bermula dari identifikasi terhadap subkultur pop underground di Inggris yang berevolusi antara era punk hingga post-punk selama periode 1977 s/d 1986. 1977 ditandai oleh Nevermind the Bollocks-nya Sex Pistols dan 1986 melalui dirilisnya kaset kompilasi C86 yang menjadi bonus majalah New Musical Express (NME). Asal mula kata independent menjadi indie bermula dari tabiat anak-anak muda Inggris yang suka memotong kata agar mempermudah pelafalan informal seperti; distribution menjadi distro, british menjadi brit, dsb.
a.2.  Istilah Independen
Di balik pemendekan kata independen itu kemudian terkandung sebuah definisi kontekstual indie yang menjadi basis pergerakan subkultural. Sehingga sejak masa itu tidak sembarang makna independen secara umum bisa diasosiasikan dengan indie. Namun hingga kini pun orang awam masih sering salah paham dengan menyamakan makna indie indie dalam dengan independen dalam. Kenapa disebut indie? Sebab akhir 70-an hingga awal 80-an merupakan masa pancaroba dari musik punk ke arah post-punk dan orang Inggris kala itu mulai menggunakan istilah tersendiri guna menjuluki kecenderungan musik punk yang semakin pop, yakni: indie. Secara awam, “Nevermind the Bollocks” adalah icon kejayaan punk. Namun bagi musisi underground Inggris, album Sex Pistols tersebut justru menjadi batu nisan bagi perlawanan punk yang sesungguhnya. Mereka menganggap irama punk sudah menjadi terlalu klise. Karena itulah mereka kemudian mulai mengolah referensi dari soul, folk, pop, dub, dan berbagai sound yang selama itu dianggap sebagai musik lunak. Meskipun secara musikal karakter punk-nya mulai berkurang, namun pendekatan maupun sikap mereka terhadap musik masih menunjukkan anomali punk. Salah satu pelopornya justru vokalis Sex Pistols sendiri, John Lydon, dengan eksperimen pop dia bersama Public Image Limited dan sikap frontalnya dalam memprogandakan anti-rock movement. Pengertian anti-rock di sini bukan berarti tidak ada unsur rock dalam musiknya, namun lebih kepada pendobrakan stigma bahwa rock harus brutal, macho, cadas, dan gahar. Sikap anti-rock ini sebenarnya juga merupakan turunan dari budaya mod di era 60-an ketika generasi muda Inggris mulai “memberontak” dengan musik yang stylish dan menentang segala atribut berbau rocker. Perkembangan dari sikap itulah yang kemudian melahirkan sebuah pola estetika indie sebagai counter-culture terhadap mainstream. Indie menjadi representasi anak-anak kutu buku berkaca mata tebal yang mengeksplorasi punk sesuka mereka tanpa harus bergaya rocker atau punk. Kelahiran indie juga mewakili wacana politik sayap kiri hingga feminisme di scene musik underground. Scene ini menciptakan band-band pop yang punya sikap maupun kepedulian sosial dalam bermusik dan tidak melulu berdagang lirik asmara. Kalaupun menyerempet cinta, itupun masih dibalut oleh kepekaan politik yang cerdas seperti Belle and Sebastian dalam “Marx and Engels” atau Camera Obscura dalam “Anti- Western”.Secara musikal, indie berakar dari improvisasi punk yang merambah independensi menuju pop dan menentang stereotipe yang menganggap musik pemberontakan harus identik dengan rock'n'roll. Sehingga lagu yang mereka hasilkan pun tidak cukup pop untuk disebut pop namun juga tidak cukup punk untuk disebut punk. Di sinilah terjadinya evolusi post-punk dan proto-indiepop sampai menemukan karakternya sebagai indie. Buletin tahunan Billboard pada 1981 mencatat betapa fenomena musik indie di Inggris mulai menunjukkan eksistensinya walaupun masih sebatas wacana ekslusif. Kita bisa mencermati dokumentasi “24 Hours Party People” ketika seseorang di akhir 70-an masih awam terhadap musik indie. Adegan itersebut mengilustrasikan bagaimana istilah indie kala itu belum tersosialisasi.
 Pada 1981, NME juga merangkum eksistensi post-punk dalam kaset C81. Namun karena aroma punk-nya masih dominan, kompilasi itu tidak terlalu membawa perubahan.
Pada pertengahan 80-an, sekelompok band indie yang memiliki keunikan musik sejenis sering berpentas di London Club Circuit. Kala itu yang menjadi pionir adalah The Pastels dan Primal Scream. Kesamaan mereka adalah sound 60’s melodic pop yang dikombinasikan dengan kemampuan sederhana untuk bermain instrumen. Mereka mendapat perhatian dari 2 pemilik club, Crane Canning dan Simon Esplen. Lalu NME yang tidak kenal lelah untuk mencari scene baru, dengan dibantu Canning dam Esplen, mulai mengompilasikan mereka guna memperkenalkan band-band baru ini dan menawarkan untuk dijadikan bonus eksklusif bagi tabloidnya. Kaset kompilasi inilah yang di kemudian hari dikenal sebagai C86 yang menjadi kiblat bagi musisi indiepop hingga sekarang. Ketika spesifikasinya kian kental dengan nuansa pop lalu musik itu mulai disebut indie.Namun komparasi pop dan punk pada masa itu berbeda dengan pop-punkmasa kini yang karakternya mainstream.
Bagaimanapun format pop yang dieksplorasi oleh musisi indie dari masa ke masa, mereka tetap bertahan dalam koridor non-mainstream karena menyadari statusnya sebagai counter-culture terhadap mainstream. Dengan resistensi semacam itu, sebagian besar dari mereka memilih untuk merekam dan merilis karya mereka sendiri atau melalui minor label yang berhaluan indie. Namun fenomena ini kemudian disalahpahami oleh orang awam bahwa indie semata-mata menunjukkan status independensi sebuah band yang tidak dirilis oleh major label. Padahal sebelum pergerakan indie muncul, sudah banyak band era 50/60-an yang merilis karya mereka secara minor label dan itu tidak termasuk atau disebut indie. Sebaliknya justru banyak juga band indie yang bernaung di major label. Pada awal pencetusan di Inggris, sebenarnya pengertian indie dan indiepop mengacu pada pemahaman yang sama. Artinya saat itu bila kata indie disebut/ditulis tanpa imbuhan pop, anak-anak muda Inggris cukup mengerti spesikasi musiknya berupa pop independen yang berakar dari punk. Setelah NME merilis C86 pada 1986, indiepop mulai menemukan jati dirinya melalui kaset tersebut. Dari sinilah muncul istilah C86 movement karena kompilasi itu menjadi fondasi pergerakan sebuah subkultur yang kini dikenal sebagai indiepop. Secara koheren, indiepop adalah pop yang berkarakter independen dalam pengertian (2), bukan (1). Band indiepop tidak harus berada di minor label, mereka bisa dan boleh saja dirilis oleh major label. Namun akan lebih ideal dan karismatik bila band tersebut memilih bernaung di bawah indie label.
Eksponen paling berpengaruh dalam gerakan C86 adalah Sarah Records. Mereka sebenarnya bukan label indipop pertama. Sebelumnya sudah ada Cherry Red dan El Records yang juga berkarakter indiepop. Namun secara pergerakan, reputasi Sarah Records menjadikannya pionir dan legenda sebagai label yang sangat agitatif dan produktif dalam mempropagandakan indiepop ke berbagai belahan bumi. Idealnya seorang musisi indiepop jaman sekarang patut memahami Sarah Records dan sejarahnya karena inilah fundamen dari scene yang dia jalani. Sedangkan di Amerika salah satu label indiepop paling berpengaruh adalah K Records. Kalau Sarah Records dan scene indiepop Inggris dikenal melalui pesan-pesan politisnya yang kekiri-kirian, Amerika lebih bertumpu ke desentralisasi kultur pop. Mereka menekankan pentingnya kesadaran dan kemauan para scenester untuk mewujudkan indiepop sebagai musik pop yang bergerilya secara underground. Namun seperti uraian di atas, dalam perkembangannya istilah indie mengalami perluasan makna akibat eksploitasi media massa yang menjadikannya rancu. Secara general, definisi indie di Indonesia cenderung dipublikasikan sebagai pola kerja mandiri semata. Padahal esensi indie bukan sekadar kemandiriannya saja, namun lebih kepada Roots-Character-Attitude (RCA) yang bertumpu pada resistensi terhadap mainstream. Sebagai contoh: The Smiths dan New Order dirilis oleh Warner Music namun reputasinya masih diakui sebagai band indie karena RCA mereka adalah indie.  Bahkan secara internasional indie diakui sebagai genre. Itu artinya, ada sebuah konsensus global yang memahami indie dalam spesifikasi musik tertentu dan konsensus ini kemudian semakin berkembang secara idiologis, artinya perkembangan konsensus ini telah mengerucut kepada  wilayah lain selain musik sampai kepada kehidupan sehari-hari.
   a.3. Makna Indie
Ketika makna indie diperluas sampai musik brutal atau extreme, ekperimantal, atau cutting edge non-pop, pemakaian istilah itu masih relevan karena sifatnya sebagai sesama budaya tandingan dari mainstream. Namun penggunaan kata indie sangat tidak tepat bila disandang band yang memainkan musik pop mainstream ketika mereka merekam/merilis lagunya sendiri. Karena bagaimanapun juga musik mereka bukan indie walaupun pola produksinya seperti “indie”. Lalu bagaimana menentukan band itu indie atau bukan? Disinilah arti penting parameter RCA yang telah disebutkan tadi. Guna mendistribusikan rekaman indie, para scenester (aktivis musik) indie membangun jalur distribusi di luar sistem mainstream yang kemudian dikenal sebagai distro. Dengan demikian, indiepop sebenarnya menerapkan unsur-unsur budaya resistensi punk walaupun para pelakunya tidak berdandan ala punk. Keistimewaan indie terletak pada jaringan kerjanya. Indie tanpa networking akan menjadi benteng tanpa prajurit. Dalam relasinya indie cenderung lebih mengedepankan unsur humanis. Dukungan mutualisme semacam ini sebenarnya adalah warisan dari 3 dekade silam ketika indie label yang lebih besar memberi dukungan kepada indie label yang lebih kecil untuk berkembang lebih pesat tanpa mengawatirkan rivalitas pasar. Indie bergerak kepada orientasi pendengar yang segmentatif. Kalaupun akhirnya mendapat respon luas, itu dianggap senagai bonus saja. Faktor penentunya adalah sikap artis/band indie tersebut ketika mulai dikenal secara luas. Mereka harus lebih bijak dalam menjaga pakem agar karakternya tidak terseret menjadi pasaran atau kacangan.
Bisa dibilang indie yang ideal adalah indie yang ekslusif. Bahkan bagi anak-anak indiepop: semakin eksklusif sebuah band, semakin layak band itu dijadikan panutan. Namun ekslusif di bukan berkonotasi negatif. Eksklusivitas dalam indiepop bukan berarti perbedaan kelas secara sosial/ekonomi/budaya, namun lebih kepada perlindungan dari eksploitasi mainstream. Salah satu contoh band indie lokal yang paling ideal adalah Pure Saturday. Mereka punya fanbase yang solid di komunitas indie tapi secara mainstream mereka tidak terekspos. Eksploitasi yang berlebihan justru akan memudarkan musik indie itu sendiri. Ibarat warna, indie adalah abu-abu yang tidak selayaknya menjadi hitam atau putih. Indiepop perlu dikenal tapi tidak menjadi terkenal secara berlebihan. Sebenarnya publikasi yang luas bagi indiepop hanyalah untuk menjangkau dan mempersatukan fanbase yang sporadis. Namun seringkali eksesnya justru menjadikan indie terjerat oleh budaya latah, apalagi di Indonesia. Publik cenderung memanipulasi makna independensi secara mutlak dalam tafsir etimologi semata. Karena itulah makna indie di Indonesia menjadi simpang siur akibat pemaknaan independen secara harafiah tanpa pakem ideologis. Padahal secara global indie sudah diakui sebagai genre, bukan sekadar pola kerja. Sebagaimana relevansinya dengan indie secara subkultur, indiepop adalah pop independen yang menjadi counter-culture terhadap pop mainstream. Namun pengertian pop yang independen jangan disalahpahami sebagai kemerdekaan absolut karena indiepop tetap mengacu pada pakem tertentu. Parameter tersebut adalah RCA yang mengacu pada sub-kultur indiepop itu sendiri.Singkatnya indie adalah etos cutting edge, avant garde atau budaya kreatif yang menjadi alternatif dari pola-pola musik pada umumnya.
     Seiring perkembangan corak musik, indiepop masa kini secara musikal memang tidak lagi sarat dengan punk. Namun etos punk masih dan akan selalu dianut olah para musisi indiepop di belahan dunia manapun. Dengan musik yang sangat catchy dan selling, sebenarnya banyak band indiepop yang berpeluang besar untuk menjadi artis jutaan kopi dengan menawarkan demo ke major label. Namun mereka tidak melakukan itu karena orientasi mereka bukan sekadar popularitas dan kemewahan, namun lebih kepada kepuasan personal dan idealisme dalam berkarya. Bahkan ada yang menolak tawaran manggung hanya karena skala pentas dan panggungnya terlalu besar.
 Sikap semacam itu pun banyak ditunjukkan band indiepop lainnya dengan menjaga jarak dengan pers umum. Inilah contoh sikap punk yang berbeda dari stereotipe artis mainstream. Musisi lokal yang memang ingin menjadi indie seharusnya banyak belajar dari situ sehingga mereka tidak menjadi popstar wannabe yang terobsesi gemerlap popularitas secara mainstream. Kurt Cobain bisa jadi contoh ideal sebagai figur musisi indie karena dia malah depresi saat musiknya kian terkenal dan pasaran. Indiepop mengajarkan pada kita bahwa pop tidak diukur dari sebarapa banyak rekaman yang terjual atau seberapa banyak penggemarnya. Ketika industri mainstream menganggap musik yang bagus harus dilegitimasi oleh trend massal dan dominasi chart, indiepop secara murni menghargai musisi dari musiknya, bukan dari popularitas.

B.     GERAKAN INDIE LABEL SEBAGAI ALTERNATIF PADA PERKEMBANGAN INDUSTRI MUSIK POP DAN PERANAN PENDIDIKAN MUSIK TERHADAP GERAKAN INI

   b.1. Perkembangan Industri Musik Pop
Setiap hari kita bisa menyaksikan ditelevisi, radio atau acara pertunjukan musik yang dilakukan oleh sponsor besar ataupun sponsor kecil. Munculnya kelompok-kelompok musik  baru ini layaknya seperti jamur di musim hujan. Beragam kelompok musik ini satu sama lainnya hampir memiliki kesamaan secara warna musik, mereka bersaing untuk memperebutkan massa sebagai penggemar musik mereka. Perkembangan musik tanah air saat ini berbeda dengan era tahun 80-an, pada era 80-an untuk bisa tampil di televisi atau masuk dapur rekaman tidak semudah seperti sekarang ini, pada masa itu seorang penyanyi atau kelompok musik harus melalui perjalanan  berliku untuk dapat tampil di televisi atau bisa diterima oleh perusahaan rekaman (major label) kondisi yang  begitu sulit membuat kompetisi petualang seni pop ini begitu ketat karena kondisinya demikian maka kemunculan para musisi masa ini cukup tersaring dengan baik.
  b.2. Istilah Pop
            Pada masa tahun 2003 sampai sekarang kemunculan para kelompok musik maupun penyanyi begitu mudah dan mudah pula tenggelamnya, hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran kemajuan teknologi media yang sangat pesat, selain banyaknya media televisi, tabloid, juga pengaruh teknologi komunikasi lain semacam handphone dan enternet. Dengan handphone dan enternet kita dengan mudah dapat menyebarkan karya kita kepada masyarakat secara luas, kita dapat mengakses segala macam informasi tentang musik industri, mulai dari perkembangan secara musik, teknologi, managemen sampai event-event pertunjukan,  masalahnya adalah tinggal beruntung atau tidak, ada beberapa kelompok musik kemudian menjadi terkenal karena kemajuan teknologi.media tersebut. Sebelum kita mengupas lebih dalam mengenai musik pop, ada beberapa hal dan konotasi mengenai istilah pop itu sendiri.
1-“pop music”-istilah ini mengarah kepada tingkat popularitas sebuah music, Musik pop hanya merupakan music yang”populer”. Dengan demikian istilah ini tidak berlaku untuk”entertainment”(musik hiburan) saja, sebab bisa saja simponi-simponi dari Beethoven atau Tschaikowski dinikmati dari lebih banyak orang di bandingkan dengan lagu music entertainment masa kini.(apresiasi music pop-populer;6 ) Dieter Mack
2-sebuah jenis music, yang kadang-kadang berhubungan dengan “Schaleger Jerman” (“Schalager” berasal dari istilah “schalagen-memukul”, yang dimaksud adalah sebuah lagu sederhana yang langsung menarik perhatian banyak orang. Istilah ini berkaitan dengan berbagai jenis di Jerman saja-teks dalam bahasa Jerman-dengan tema cinta, gaya kasar. Di Inggris, music Cliff Richard tau group Tremoloes misalnya sama saja, hanya teks dalam bahasa Inggris. Di Indonesia kebanyakan music dengan merek pop kurang lebih sama saja….. (apresisai music pop-popular; 6) Dieter Mark.
Dari kutipan di atas ternyata fenomena musik pop sudah ada sejak lama di negara Barat, dan sebagai gambaran lebih jelas dapat kita lihat pada kutipan kedua. Artinya dapat disimpulkan bahwa budaya pop dalam hal ini musik tidak bisa dilepaskan dari industri, kemudian industri merupakan suatu usaha mencari keuntungan sebesar-besarnya. Musik pop tercipta berdasarkan kesukaan pasar, dibuat mudah, dapat segera dicerna oleh masyarakat sehingga dengan demikian musik ini kemudian dapat menguntungkan industri musik itu sendiri sebagai pemberi modal.
Namun, walaupun perkembangan teknologi media masa nampak semakin maju secara signifikan, tidak berarti para pejuang seni pop tersebut dapat begitu mudah masuk kedalam wilayah indutri rekaman. Begitu banyak kelompok musik yang kurang beruntung dalam persaingan di industri musik pop tersebut, sehingga dengan adanya fenomena ini terbentuklan suatu gerakan bagi kelompok musik yang kurang beruntung dan tidak memiliki koneksi, yaitu gerakan Indie label, gerakan ini merupakan gerakan underground (bawah tanah) sedangkan dunia industri musik dalam kekuasaan modal besar dan memiliki kewenangan untuk menentukan musik pop mana yang harus di popularkan disebut kelompok Major Label. Gerakan indie label sesungguhnya sudah lama berkembang di dunia Barat, mulai   di Inggris pada tahun 70-an kemudian menyebar ke negara lain mulai dari Perancis, Jerman, Belanda sampai ke Amerika. Gerakan Indie label merupakan suatu gerakan adopsi dari Negara barat dan kemudia menyebar ke Indonesia, di Indonesia gerakan ini dimulai pada tahun 1990-an, gerakan ini dimulai dari salah satu kota besar di Indonesia, tepatnya wilayah Surabaya  Jawa Timur. Sebagai pionir, Surabaya mengakomodirnya dalam bentuk pertunjukan-pertunjukan musik dengan cara mengundang kelompok-kelompok musik dari wilayah Indonesia lainnya. Penggagas gerakan ini dalam bentuk konkrit tadi adalah seorang pengusaha muda keturunan China dan penggemar musik rock bernama Log Zelebor. Bisalah dikata Log Zelebor sebagai salah satu tokoh penting di dalam gerakan musik indie label di Indonesia.
 b.3. Musik Indie Label di Indonesia
            Pada tahun 1990-sampai 2000, Surabaya masih merupakan basis dari gerakan indie label di Indonesia. Pada saat itu log zelebor  mengakomodir kelompok musik rock di Indonesia dari berbagai propinsi di dalam sebuah ajang festival musik rock secara rutin dilaksanakan setiap tahun. Festival ini begitu sangat bergengsi, sebab untuk grup band yang masuk sepuluh besar dibuatlah kompilasi dengan biaya oleh log zelebor secara pribadi dan beberapa sponsor rokok. Rekaman kompilasi ini ternyata mampu membuat pihak major label mulai melirik secara sungguh-sungguh, sehingga jebolan dari hasil gerakan indie label tersebut mulai masuk ke wilayah major label, contoh: kelompok musik Jamrud, Boomerang. Beberapa tahun yang lalu dua kelompok ini pernah mengalami masa kejayaan dalam industri musik pop di negara kita ini.
            Memasuki tahun 2001 sampai sekarang terjadi pergeseran jenis musik pop, yang tadinya jenis musik rock sekarang lebih beragam. Bandung merupakan barometer untuk gerakan musik indie label sekarang ini. Kelompok band di Bandung begitu banyak, hampir setiap kampung mempunyai beberapa kelompok band.  Di Bandung komunitas anak muda dengan gerakan indie label ini tidak hanya di dalam musik saja akan tetapi merambah ke gaya hidup, mulai dari cara berpakaian, riasan wajah, rambut, sepatu, tattoo sampai perilaku sosial. Hal ini membuat  kota Bandung menjadi kota rujukan untuk kota-kota lainnya di Indonesia sebagai barometer untuk musik indie label dan gaya hidup. Kelompok musik indie label  di Bandung mempunyai komunitas yang lebih beragam di banding di kota-kota lain di Indonesia, outlet indie label begitu banyak tersebar di kota ini, outlet ini menyediakan lagu-lagu karya mereka berikut aksesoris (poster, kaos, kalung, cincin, sepatu,syal dll) sebagai trade-mark dari kelompok musik indie label tersebut, sehingga orang tidak hanya dapat mendengarkan musik suatu kelompok indie tetapi dapat pula memiliki aksesoris sebagai lambang atau ciri khas dari suatu kelompok musik. Kelompok musik indie di bandung mempunyai komunitas kalangan anak muda terpelajar, misalnya: untuk kelompok mahasiswa mereka didukung oleh kawan-kawanya berlatar belakang seni rupa, maka kawan mereka dengan latar belakang seni rupa ini akan membantu dengan memberikan sumbangan dalam bentuk membuatkan gambar-gambar ilustrasi yang menarik dalam mewakili kelompok mereka , pola kerjasama secara kolektif inilah yang membuat gerakan indie label di Bandung lebih semarak dan kemudian memiliki ke-khasan sendiri. Kemudian selain toko-toko kecil atau lebih dikenal dengan nama outlet, kelompok musik indie label ini pun membangun komunitasnya dengan cara bergabung dan berkolaborasi dengan kelompok  penggemar lainnya,  misalnya kelompok olah raga, motor, mobil dan sebagainya. Dalam hal ini dapat kita ambil contoh salah satu kelompok musik Bandung yang telah dilirik dan masuk kewilayah major label yaitu: Pas Band, kelompok musik ini telah memiliki penggemar  fanatic, yaitu kelompok anak-anak skateboard, dan anak-anak sepeda BMX. Penggemar  mereka ini telah terbentuk sebelum mereka masuk ke wilayah major label, oleh karena kelompok ini telah memiliki penggemar banyak dan dilihat sudah cukup menguntungkan maka pihak major label menarik mereka masuk ke dalam dunia industri.
            Gerakan indie label sekarang telah menjadi alternative dan telah menjadi pilihan penting  bagi kalangan pemusik muda sebagai jembatan untuk dapat masuk  major label dalam budaya pop. Bandung adalah inspirasi bagi wilayah lain di Indonesia  dalam membangun semangat musik indie atau indie label, walaupun di satu sisi nilai idealismenya tergerus oleh persoalan laku atau tidak laku musik yang mereka buat, banyak penggemar  atau tidak , nilai dari semua ini hanyalah masalah materi dan popularitas saja , mimpi yang paling utama dari gerakan ini cenderung  bergeser hanya kepada  mengejar dapat hidup mapan, dielu-elukan, mempunyai banyak fans dsb. Kita sebagai guru musik yang dapat memberikan wacana dan wawasan kepada masyarakat bangsa ini untuk generasi selanjutnya, dengan melakukan peran kita sebagai pendidikan musik secara total dan sungguh-sungguh. Sehingga suatu hari, pengetahuan  dan tingkat apresiasi masyarakat bangsa ini lebih baik kemudian masyarakat itu sendiri yang akan menilai mana sajian musik yang bermutu dan mana yang tidak bermutu, kemudian dimanakah musik kita sesungguhnya, bagaimanakah peranan dunia pendidikan dalam mensikapi perkembangan budaya musik pop terhadap nilai kebangsaan.
C.    Peranan Pendidikan musik di sekolah terhadap gerakan indie label
Di dalam kurikulum sekolah terdapat mata pelajaran seni, didalamnya merupakan pelajaran  seni musik, seni rupa dan dan seni tari, pelajaran seni ini sudah dimulai sejak usia balita, dengan kurikulum yang selalu berganti , seringnya pergantian kurikulum ini menandakan  pemerintah dalam hal ini pihak dinas pendidikan begitu memperhatikan atau hanyalah sebagai suatu kepentingan  proyek saja.Kurikulum paling mutakhir sekarang ini adalah ktsp (kurikulum tingkat satuan pelajaran ) didalam kurikulum ini guru diberikan kemerdekaan  seluas-luasnya, di dalam mencari metode terbaik  bidang studinya masing-masing, bagaimana guru dapat melakukan percobaan-percobaan lebih bebas terhadap bidang seni yang terdapat disekelilingnya  sehingga muncullah apa yang disebut muatan lokal. Hal ini merupakan suatu usaha besar yang didasari oleh karena semakin terasanya suatu gejala dimana kesadaran terhadap akar budaya atau nilai-nilai seni local semakin tergeser oleh budaya Barat, halnya gerakan kaum muda kearah semangat budaya barat seperti yang dijelaskan diatas. Untuk dasar pendidikan musik pada anak-anak dapat kita lihat seperti kutipan ini:
untuk anak-anak kecil, sampai kala umur 8 tahun,djanganlah memakai “not” ; karena pada umur itu peladjaran njanjian itu masih kita pakai selaku pendidikan panja indera (guna menjempurnakan pendengaran). Menurut maksud dan tudjuan”latihan pandja indera”, maka perlu sekali kanak-kanak itu senantiasa membanding-bandingkan  (suaranja sendiri dengan suaranja jang menuntun, guru). Wiramanja harus jang agak tjepat, sesuai dengan tabiatnja anak-anak: djadi djangan setjara njajiannja orang-orang tua atau pesinden dan sebagainja. Djuga lagunja, wiletnja, tjengkoknja haruslah sesuai dengan wataknja anak-anak (sederhana, mudah disuarakan, djangan terlalu tinggi atau terlalu rendah). Baiklah jang dipeladjarkan itu lagu-lagu “dolanan” dalam umumnja”’ (1962:340) Ki Hadjar Dewantara. 
Pendidikan musik pada anak-anak begitu sangat pentingnya, musik tidak semata-mata hanya untuk kepentingan menina bobokan anak dari kesedihannya,  musik merupakan suatu media untuk memberikan wawasan keindahan, sensitifitas dan kreativitas  pendidik musik  dalam hal ini seorang guru membutuhkan metode dan strategi yang cocok dalam mengajarkan musik kepada siswa, bagaimana seorang guru harus melihat lingkungan sosial siswa kemudian mencari strategi yang cocok untuk memberikan pelajaran tersebut. Pengaruh industri musik telah masuk ke dunia pendidikan lebih dalam dan tanpa ada sesuatu yang dapat menyaring semua itu, begitu sulit bagi orang tua dan sekolah untuk dapat melarang anak mendengarkan musik yang bukan konsumsi mereka. Hal inilah yang merupakan tanggung jawab para pemikir pendidikan musik untuk mencari strategi bijak di dalam menyikapi fenomena yang begitu nyata pada pendidikan bangsa ini, terutama untuk generasi yang baru akan tumbuh berkembang. Produksi lagu anak tidak begitu popular pada saat sekarang, sementara acara televisi yang merupakan sarana publikasi massa adalah bukti nyata akan begitu gencarnya tayangan musik dengan tujuan hanyalah untung dan rugi saja, tanpa berfikir tentang dampaknya terhadap generasi muda yang akan menjadi penerus demi kemajuan bangsa ini. Kebudayaan pop sesungguhnya bisa di sikapi dengan mengadopsi gerakan indie label apalagi saat ini teknologi komputerisasi sebagai salah satu sarana yang bisa di manfaatkan oleh sekolah di dalam meningkatkan kreativitas siswa, misalnya hasil kreasi siswa sekolah di rekam kemudian dijadikan ajang untuk merespon ekspansi industri musik, siswa memerlukan eksistensi baik secara individu maupun kelompok. Di dalam meningkatkan potensi siswa ini kita dapat mengmbil sebuah model belajar yang bernama contextual teaching and learning model ini di ciptakan oleh: Elaine B. Jhonson,Ph.D di dalam model ini diciptakan strategi bagaimana menjadikan kegiatan belajar menjadi mengasyikkan dan bermakna. Musik merupakan sesuatu yang mengasyikkan dan tentu harus bermakna, persoalannya bagaimana kegiatan belajar itu dapat mencapai tujuan seperti yang diharapkan, di dalam model contextual Teaching Learning ada definisi yang kemudian menjadi dasar pemikiran model ini, yaitu :
“Sistem ctl adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan melihat makna didalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial dan budaya mereka”.( Elaine B. Jhonson, 2004:15)
Dari kutipan diatas dapat kita kaji betapa konteks kehidupan siswa sehari-hari, yaitu ketika mereka di rumah dan ketika mereka bermain bersama kawan-kawan mereka di rumah dan luar rumah merupakan hal yang sangat mempengaruhi  pribadi mereka, karena lingkungan di luar sekolah adalah hal yang sangat memberikan kontribusi terhadap perkembangan sosial dan kebudayaan mereka. Artinya, ketika dunia industri musik yang berada di likungan siswa dan bagaimanapun bentuk musik itu maka itulah yang mempengaruhi mereka ketika berada di sekolah. Oleh karena itu,  ctl melihat ini sebagai satu kesatuan di dalam kegiatan belajar dan sekolah harus mengakomodasi suasana diluar sekolah sehingga sekolah menjadi sistem kehidupan yang lebih baik. Ketika sekolah telah dapat menjadi tempat para generasi muda mengembangkan potensinya, maka sekolah telah menjadi kontrol sosial terhadap bentuk kebudayaan yang diciptakan oleh industri kapitalis dalam hal ini musik pop. Gerakan independen bisa diciptakan di lingkungan sekolah, siswa dapat memproduksi, mempertunjukkan semua hasil ide kreatif musik mereka sehingga siswa dapat memaknai apa yang sesungguhnya dapat mereka perbuat dan apa yang dapat mereka lakukan di dalam lingkungan sekitarnya. Hal ini dapat dicapai  ketika siswa telah dapat memahami fenomena budaya dan kemudian mereka mulai akan menyadari pentingnya mempunyai kebudayaan sendiri, bukan sebuah kebudayaan adaptasi tanpa karakter sama sekali, dan salah satu strategi di dalam menciptakan olah pikir seperti ini adalah dengan gerakan indie label. Sikap independensi merupakan suatu sikap yang seharusnya ditumbuhkan sejak usia dini, sikap generasi muda yang memiliki nilai nasionalis ini akan menumbuhkan rasa kecintaan terhadap budaya, kecintaan inilah yang akan menjadi dasar terhadap pembangunan karakter budaya bangsa.
            Pendidikan seni di sekolah adalah suatu hal yang sangat strategis di dalam menanamkan pengetahuan tentang kekayaan budaya bangsa. Pemerintah telah berupaya dengan berbagai macam kurikulum, sebagai contoh adalah dengan memasukkan muatan lokal di dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Namun sebaik apapun kurikulum pendidikan, tidak akan berjalan dengan baik jika sumber daya manusia dalam hal ini guru tidak melaksanakan kegiatan belajar-mengajar tersebut secara bersungguh-sungguh.
D.    KESIMPULAN DAN SARAN
Pengaruh kebudayaan barat begitu mendominasi perilaku generasi muda bangsa, begitu banyak faktor yang mengakibatkan semua hal ini terjadi, media masa, kemajuan teknologi informasi dan perkembangan politik juga memiliki pengaruh besar. Era perdagangan bebas membuat semua ini sangat sulit di saring, sehingga tugas para pendidik yang kemudian akan memberikan pengetahuan pada kegiatan belajar mengajar menjadi sangat berat pada tataran tanggung jawab. Hal ini disatu sisi merupakan tantangan yang sangat menarik dan harus di carikan strategi dengan pemikiran yang sungguh-sungguh, disisi lain kerjasama antar instansi terkait tentunya harus berjalan seimbang dan relevan.
Begitu banyak cara telah ditempuh di dalam dunia pendidikan terhadap arus kebudayaan pop yang berasal dari dunia barat ini. Cara dalam bentuk model pengajaran, kebijakan pendidikan dan strategi pendidikan yang jitu telah dilakukan. Hal ini patut dihargai dan diteruskan, memang jika kita berharap untuk terjadi perubahan secara tiba-tiba sesuai dengan pemikiran hal itu tidak mungkin tercapai, setidaknya sesuatu yang telah dilakukan oleh pemikir-pemikir pendidikan dan oleh pelaku pendidikan dapat memberikan atmosfir menuju arah yang lebih baik. Oleh karenanya tulisan ini hanyalah semacam reportase yang memiliki kekurangan disana-sini. Oleh karenanya, besar harapan penulis untuk dapat diberikan kritik dan masukan terhadap kekurangan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

B.Johnson. Eline. (2007). Contextual Teaching and Learning. Bandung: MLC
Dryden Gordon. (2000). The Learning Revolution. Bandung: Kaifa
Dewantara Ki Hadjar(1962). Pendidikan 1. Jogjakarta:……..
Mack Dieter. (1993).Apresiasi Seni-Musik Populer. Diktat Seni Musik: IKIP Bandung



Tidak ada komentar:

Posting Komentar